"Terus sekarang apa?" Calya membuka suara setelah hampir 5 menit mereka terdiam. Malam sudah semakin larut, dan untung saja Calya tidak perlu ke kampus besok.
"Tawaran saya masih sama, Calya." Januar menatap sendu ke arah Calya.
"Kedengeran nggak masuk akal aja, Januar," Calya menghela nafas lelah. "Kita nggak saling kenal, dan dengan tiba-tiba kamu ngajak saya nikah."
"Oke, kalau kamu merasa ragu, gimana kalau kita bikin perjanjian aja?"
"Perjanjian?"
"Saya tertarik sama kamu, Calya. Mungkin kedengarannya nggak masuk akal. Tapi saya nggak akan bohong soal perasaan saya ke kamu. Saya mungkin terlalu annoying di mata kamu, dan saya mengerti itu." Januar menghela nafas untuk yang kesekian kali sebelum melanjutkan. "Kasih saya waktu dua tahun. Kalau sampai 2 tahun saya nggak bisa mengubah perasaan kamu, kita bisa pisah dan jalan masing-masing. Saya nggak akan ganggu kamu lagi."
Mendengarnya, Calya dibuat terbelalak. Ia menatap Januar seperti lelaki itu baru saja menumbuhkan satu kepala baru di pundaknya.
"Saya yang akan tanggung semua biaya hidup kamu, juga biaya hidup Naya dan pengobatan-"
"Tunggu!" Calya mengangkat tangan mengisyaratkan Januar untuk berhenti dengan omong kosongnya.
"Ya?"
"Dari mana kamu tahu kalau Naya butuh pengobatan?" Calya menyipitkan matanya curiga.
"Nggak sengaja liat jarum suntik waktu bikinin kamu sup. Adik kamu bukannya ceroboh, emang saya aja yang terlalu observatif." Januar mengedikkan bahu seperti hal ini bukan masalah besar.
Calya memijat pelipisnya. Kepalanya terasa pusing dengan apa yang terjadi hari ini. Jika Januar adalah orang lain, Calya mungkin sudah akan menonjok wajahnya dan berkata, 'mending lo periksa ke psikiater njing', tapi Januar bukan sembarang orang. Calya belum lama mengenalnya, tapi ia sadar bahwa Januar tidak akan bercanda soal masalah seserius ini.
"Saya masih nggak ngerti kenapa kita harus nikah? Kalau kamu memang tertarik sama saya, orang normal mungkin bakal pdkt dulu, terus pacaran, tunangan, dan kalau cocok terus yakin, baru nikah."
Januar menggaruk tengkuknya kikuk, "Uh..."
Calya menatap Januar dengan mata menyipit, "Januar?"
"Masih ada satu alasan lagi."
"Apaan?"
"Mami saya bilang kalau sampe bulan depan saya nggak ngenalin cewek ke beliau, saya mau dijodohin."
"Did she, now?"
"Saya tau kok kedengarannya absurd. Tapi saya nggak mau urusan jodoh diatur juga sama orang tua saya. Setidaknya kalau saya mau memaksakan diri harus nikah, saya pengennya sama orang yang saya kehendaki sendiri."
Calya menaikkan kedua alisnya, memandang Januar. "Dan kamu mikir kalau saya orang yang tepat?"
"Saya nggak mikir, Calya, saya tau." Saut Januar. "Kalau emang kamu nggak mau, seenggaknya kasih saya alasan kenapa."
"Um... kamu orang asing?" Jawaban tidak yakin Calya terdengar lebih ke arah tanya.
"Pass." Januar menggeleng.
"Kamu... terlalu kaya?"
"Bukannya itu bagus ya? Saya nggak tau kalau terlalu kaya malah jadi kelemahan."
Calya memutar bola matanya. "Oke, kamu terlalu PD, oke? Kita belum lama kenal, alias baru satu minggu, tapi kamu udah bilang tertarik sama saya. Lebih parahnya lagi ngajak nikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...