•••
Kanaya dan Januar terdiam, sibuk mengunyah kacang panggang dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Kanaya sibuk memikirkan tawaran Januar, sedangkan laki-laki di sampingnya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sesekali Januar tersenyum tipis sembari menatap di kejauhan. Jika bukan calon kakak iparnya, yang untungnya Calya pilih sendiri, Naya sudah akan mengusir cowok itu karena kini Kanaya khawatir Januar kesurupan.
"Kalau Kak Aly nggak setuju gimana?" Kanaya memutuskan untuk bertanya.
Ucapannya itu membuat Januar menghentikan lamunan, kemudian menoleh menatap Naya.
"Berarti tugas kamu ngeyakinin dia,"
"Maksudku tuh ya, aku takut Kak Aly nolak karena nggak mau nyusahin kamu, Kak." Kanaya menyahut. "Kita semua tau kalau Kak Aly itu harga dirinya tinggi. Susah nerima bantuan orang."
"I know," Januar mengangguk menyetujui. "Aku bakal bicara sama dia. Mau nggak mau, dia harus mau."
"Ini cara Kakak buat ngajak Kak Aly nikah, ya?"
"Maksudnya?" Januar bertanya tidak mengerti.
"Maksa," Kanaya menjawab polos.
"Nggak lah!" seru Januar. "Kakakmu nggak bisa nolak pesona Kakak, Nay. That's why."
"Kak Janu? Mempesona?" Kanaya bertanya sarkastis, kepalanya menggeleng tidak yakin. "Hmm…"
"Jangan durhaka, Naya." Januar bercanda. "Belum jadi adek juga udah nistain aku."
Kanaya terbahak. Ia lupa bahwa ia baru saja mengunyah kacang tanah panggang, hingga harus rela terbatuk karena tenggorokannya terasa tersumbat.
"Kan," Januar menawarkan botol air yang ia buka. "Azab."
Kanaya segera menyambar botol yang ditawarkan oleh Januar, menegaknya dengan terburu. Menghabiskan hampir separuh botol sebelum mengusap mulutnya kasar dengan punggung tangan. Ia menaruh botol itu ke atas meja, kemudian menatap Januar.
"Mendingan?" Januar bertanya dengan menahan tawa, yang dibalas Kanaya dengan dengusan kesal.
"Iya, iya. Maaf."
"It's all good."
Keduanya kembali terdiam. Memperhatikan pekarangan rumah yang tampak kosong. Hanya ada sebuah pohon mangga di pojok pekarangan. Di salah satu gagang pohon, tergantung ayunan yang tampak usang.
"Dulu biasanya ayunan itu jadi tempat favorit Kak Aly sama Ayah," ucapan Naya terdengar di telinga Januar. Ia tidak menatap Kanaya, namun dari sudut matanya, Januar mendapati Naya yang mengikutinya melihat ke arah ayunan tua itu.
"Aku nggak begitu inget, udah lama banget soalnya. Cuma aku tau kalau tiap sore Kak Aly dan Ayah nggak pernah absen ngabisin waktu di sana. Mungkin itu juga alasan kenapa Kak Aly lebih dekat sama Ayah dan aku lebih bergantung sama Bunda."
Januar menatap lamat ayunan itu. Dari kejauhan, terlihat bahwa benda itu sudah lama tidak digunakan. Bisa ketahuan dari talinya yang tampak kusam dan menghitam, juga kayu tempat duduk yang mulai terlihat rapuh. Mungkin karena terlalu lama terpapar cuaca.
"Kapan terakhir kali Calya main di sana?" Januar bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari ayunan itu. Seperti berharap bahwa ia mampu sejenak saja mendapati kilasan saat Calya sedang tersenyum di sana dengan Ayahnya yang mendorong dari belakang.
"Mungkin waktu Kak Aly SD? Atau SMP? Aku nggak begitu ingat. Ayah makin sibuk dan Kak Aly juga sibuk sama sekolahnya."
Mereka berdua terdiam. Tatapan Naya begitu sayu, sepercik sorot sedih mampu Januar tangkap dari nada bicara calon adik iparnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...