Calya menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Kepalanya penuh dengan pikiran yang mengarah pada sosok Januar.
Calya tidak mengerti kenapa perlakuan Januar terus saja berputar di kepalanya. Toh bantuan yang Januar beri bukan sesuatu yang istimewa. Membantu orang yang hampir pingsan? Semua orang yang punya rasa manusiawi pasti akan melakukannya. Itu sebab mengapa Calya merasa bingung pada diri sendiri karena membaca perlakuan Januar dari sudut pandang yang tidak seharusnya.
Atau mungkin ini adalah kali pertama setelah bertahun-tahun Calya tidak pernah lagi menerima bantuan dari orang lain.
Sejak kepergian kedua orang tuanya hampir lima tahun lalu, Calya sudah terbiasa melakukan segalanya sendiri. Dirinya sudah berhenti bergantung pada orang lain. Ia sudah sering mengandalkan dirinya sendiri dalam segala hal. Belum lagi tanggung jawab mengurus Naya sejak gadis itu SMP. Calya sudah dituntut untuk jadi dewasa bahkan sebelum dirinya tau apa itu dewasa yang sebenarnya.
Lalu kini, ada orang asing yang membantunya tanpa bertanya. Mengantarkannya pulang tanpa ia minta. Jika Januar adalah orang lain, Calya mungkin tidak akan ragu untuk menyumpahinya.
Namun Januar Adhyastha bukan orang biasa. Bahkan Calya sudah seharusnya sadar dari bagaimana cowok itu memilih pakaian yang ia kenakan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Januar seperti menjelaskan bahwa sosoknya bukanlah orang yang bisa ia temui di mana saja.
Suara ketukan di pintu kamar menariknya dari lamunan. Usai mengizinkan si pengetuk untuk masuk, Calya mendapati Naya yang kini berjalan ke arahnya. Wajah adiknya masih tampak jelas dilapisi cemas, membuat Calya tidak bisa menahan selain menyalahkan dirinya sendiri yang harus tumbang di hadapan sang adik.
Calya sudah akrab dengan berlagak kuat, dan Naya sudah terbiasa melihatnya seperti itu. Hingga melihat Calya yang akhirnya dikalahkan rasa lelah tidak hanya membuat Calya merasa bersalah, namun juga membuat Naya khawatir.
Hal terakhir yang Calya inginkan di dunia ini adalah membuat adiknya khawatir dan takut.
"Naya?" Calya menyapa dengan suara ragu, membiarkan adiknya berjalan menuju ke arah tempat tidur.
"Kakak.... nggak apa-apa?" Suara adiknya terdengar begitu kecil, seperti ia ragu untuk mengeluarkan kalimat tanya itu kepada Calya. Sesuatu yang justru membuat perasaan Calya semakin gaduh.
"Kakak nggak apa-apa, Nay. Kamu nggak usah khawatir." Calya berusaha meyakinkan, dengan suara sehalus mungkin ia berharap bahwa adiknya itu berhenti khawatir. Meski Calya tau dengan pasti Naya tidak akan pernah sedetikpun tidak mengkhawatirkannya. Setiap hari, Naya seperti tidak pernah absen bertanya bagaimana kabar Calya, meski teknisnya mereka tinggal satu rumah dan bertemu setiap hari. Gadis muda itu memainkan jemarinya satu sama lain dengan cemas.
"Kakak kenapa nggak bilang aja kalau Kakak lelah." Naya berkata sembari menunduk. "Kakak nggak boleh kayak gitu."
"Naya..." Calya menghela nafas. "Sini," tangannya menepuk tempat kosong di sebelahnya. Ia mengisyaratkan agar adiknya itu mendekat.
Dengan keraguan, adiknya perlahan menuju ke tempatnya berada. Naya duduk menghadap ke arahnya tanpa mendongak, seperti enggan membalas pandangannya.
"Naya dengerin kakak, ya," Calya menarik kedua tangan adiknya ke dalam genggaman. "Kakak nggak peduli selelah apa tubuh Kakak nantinya, Kakak nggak akan pernah berhenti buat berusaha ngelakuin semuanya. Bukan cuma buat kamu, tapi juga buat diri Kakak sendiri.
"Ketika Kakak mutusin buat bertanggung jawab atas kamu, artinya Kakak bertanggung jawab atas semuanya. Ngehidupin kamu, menuhin semua kebutuhan kamu, nyenengin kamu. Semuanya. Dan Kakak nggak pernah nyesel. Kakak nggak akan pernah ngerasa keputusan Kakak itu salah. Bunda dan Ayah pergi tanpa pesan apapun, bahkan sekedar ucapan selamat tinggal. Tapi meski begitu, Kakak tau persis kalo Bunda dan Ayah pasti maunya Kakak ngejagain kamu. Kakak bakalan ngelakuin itu bahkan tanpa diminta. Kakak ngelakuin itu atas kemauan Kakak sendiri. Jadi jangan pernah merasa kalo kamu adalah beban buat Kakak, oke? Jangan pernah sekalipun berpikir kalo kamu nyusahin Kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...