#02

1.5K 224 58
                                    

Spam komen dan jangan sungkan buat ngeluarin uneg-uneg kalian soal buku ini ya. Gue suka bacain komen kalian deh wkwk.

××

Jarum jam berhenti pada pukul setengah satu pagi. Shift Calya seharusnya sudah berakhir setengah jam yang lalu, namun hingga kini, dirinya masih harus berurusan dengan teriakan-teriakan dari pelanggan. Badan mereka berbau alkohol bercampur keringat. Tidak peduli setiap hari Calya bekerja disini, dia belum juga terbiasa.

Selain memesan tequila sejam yang lalu, tidak terlihat tanda-tanda pria yang sempat membuat Calya penasaran. Ia ingin bertemu dengan pria itu. Sekedar untuk bertanya darimana ia tahu namanya. Calya sempat berpikir mungkin saja pria itu melihat badge namanya ketika mengisi shift di resto, namun jika tidak, bisa jadi dia seorang penguntit.

Jika benar, sangat disayangkan.

Gemerlap sorot lampu dan dentuman musik keras membuat Calya cukup pusing. Dirinya bukanlah penggemar keramaian, sebenarnya. Bahkan jika boleh memilih, Calya akan lebih suka berdiam di rumah bertemankan secangkir kopi dan buku bacaan. Atau sekedar mengerjakan tugas kuliahnya.

Namun sayangnya, dia tidak bisa memilih. Atau sekalipun dia bisa, ia tetap tidak akan berdiam di rumah sementara adiknya perlu uang-uang itu untuk tetap baik-baik saja.

"Halo, cantik," sebuah kalimat godaan, yang Calya anggap lebih mirip melecehkan daripada memuji kembali menyapa telinga. Calya memutar bola matanya diam-diam. Berpikir bahwa cowok-cowok itu sangat tidak kreatif dengan nama-nama panggilan, mereka terdengar sama saja.

"Hai," Calya berucap yang sarat akan keramahan palsu. Entah cowok di depannya ini tidak menyadari, atau memang sengaja mengabaikan nada yang Calya gunakan. "Mau pesen minum apa?"

"Satu gelas scotch campur soda... kasih tambahan nomor hape kamu kalo bisa." Ucap cowok itu dengan percaya diri. Sebuah senyuman miring tersungging di bibirnya yang tampak memerah. Bisa jadi karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol.

Calya hanya tersenyum kikuk, kemudian berbalik memunggungi orang itu untuk membuat pesanannya. Dirinya sudah sangat terbiasa dengan para pengunjung yang meminta nomor ponselnya, Calya tidak bodoh untuk memberikannya pada orang-orang itu.

Ia tidak butuh waktu lama untuk menyajikan minuman, tangannya sudah terbiasa, dan otaknya hampir menghafal hampir semua racikan minuman yang menjadi menu di sini.

"Nomor hapenya mana?" Cowok itu bertanya dengan ekspresi tidak mengerti yang terlihat tidak dibuat-buat. Calya hampir percaya, namun dirinya tau apa yang lebih baik. "Maaf, aku udah ada pacar."

Calya bohong, namun cowok di depannya ini tidak perlu tau.

"Yaelah," ucap cowok itu kemudian berbalik dan meninggalkan meja bar. Sebelum menghilang di antara orang-orang di lantai dansa. Calya hanya menggeleng pelan.

Sesaat kemudian, terdengar kembali suara seseorang memanggil namanya. Calya memang belum akrab dengan suara itu, namun dirinya jelas mengenali wajah pemiliknya.

Benar saja, ketika berbalik, Calya mendapati pria misterius itu kembali berdiri di depannya. Dua kancing kemejanya sudah terlepas di bagian atas. Membuat dada bidang miliknya nampak sedikit mengintip dari balik baju. Calya tidak akan mengelak, meskipun dirinya sudah sering melihat penampilan yang serupa dari pelanggan kelab, baru kali ini Calya dibuat kagok.

Rambutnya jauh lebih berantakan dari saat mereka bertemu sebelum ini, tapi bukannya terlihat buruk, pria ini justru tampak seperti model. Calya mengerjapkan matanya menyadarkan diri.

"Hai, udah mau ambil shot selanjutnya?" Calya bertanya datar. Entah kenapa, Calya tidak bisa berpura-pura ramah di hadapan pria ini. Bawaannya pengen serius mulu. Dia sendiri tidak mengerti, karena sejujurnya, Calya bahkan tidak tau siapa namanya.

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang