#25

41 12 12
                                    

•••
  

Calya menatap Januar yang kini berusaha menjelaskan padanya, bahwa apa yang ia pikirkan tidak benar.

"Naya bilang apa?" Calya bertanya kembali, beruasaha meyakinkan bahwa ia tidak salah dengar.

Januar mengangguk. "Dia ngerasa nyusahin kamu, ngerasa nggak bisa bantu apa-apa. Dia cuma mau kamu lebih rileks dan istirahat sebentar."

"Gimana dia bisa mikir begitu?" Calya berujar pelan, berbisik pada dirinya sendiri.

"Karena dia adik kamu, Calya. Dia kenal dan setiap hari ketemu sama kamu. Bukannya kamu gagal nunjukkin kalau kamu nggak apa-apa, Naya cuma lebih perspektif dan kenal kamu lebih dari yang kamu kira." Januar mengelus punggung tangan Calya perlahan, berusaha menghibur.

"Dia bilang sama aku buat jagain kamu, buat nggak nyakitin kamu nantinya," Januar menambahkan. "Jujur aja, tanpa dia minta pun aku udah janji sama diriku sendiri."

Calya menghela nafas, berusaha melegakan dadanya yang kembali sesak.

Januar memeluk Calya, menenggelamkan kepala gadis itu agar bersandar di bahunya.

"You deserved the world, Calya. Maybe more."

"How so?"

"Karena kamu udah berjuang keras selama ini. Bukan cuma buat kamu sendiri, tapi juga adik kamu. Kamu bisa istirahat, kamu bisa jalan pelan-pelan. Kamu nggak lagi sendirian, I'll be with you all the way. No matter what you choose to do."

"What if I choose to kill people?" Tanya Calya dengan wajah serius.

Januar tau Calya tidak akan sampai untuk membunuh seseorang. Kecuali mungkin jika hal itu berhubungan dengan Kanaya.

"You won't be to that extent, but I'll see what I can do."

Januar mengelus kepala Calya, mengeratkan dekapannya pada tubuh gadis itu. Calya terasa begitu kecil dan rapuh, seperti ia sudah terlalu lama berdiri dan kini menemukan momen dimana ia bisa duduk dan bernafas lega.

"Oh ya, aku sama Naya juga udah ngobrol masalah dia bakal sekolah dimana. Aku nggak bakal cerita banyak, karena itu jadi urusan kamu sama Naya nanti," Januar kembali berkata. "Soal apapun yang Naya bilang, keep an open mind, okay?"

"Oke," Calya mengangguk sekali sebagai jawaban. Membiarkan Januar memeluknya lebih lama.

Waktu shiftnya akan dimulai sebentar lagi dan ia masih belum juga keluar dari mobil. Ia memutuskan, bahwa kali ini ia tidak akan terlalu memikirkan karena datang terlambat.

Mungkin Januar benar, Sena tidak akan marah hanya karena ia terlambat satu kali.

   
•••
  

Usai mengantar Calya, Januar menunggu hingga ia dapat memastikan Calya memasuki pintu belakang kelab. Barulah ketika itu, ia berlalu menuju apartemennya.

Mami dan Sania sempat menghubunginya sore tadi. Namun karena sejak siang ia tidak memegang ponsel sama sekali, panggilan mereka berakhir missed call. Ia berpikir untuk menghubungi Mami atau mungkin adiknya ketika ia sampai di apartemen.

Mobilnya terparkir di basement gedung. Ia segera keluar dan berjalan menuju elevator. Mulutnya bersiul kecil, sembari tangannya menekan tombol lantai dimana unitnya berada.

Tangannya merogoh saku celana, menarik ponselnya keluar sebelum berlari menyusuri nomor kontak dan menekan nomor Mami.

"Halo, Mi, ada apa?"

𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang