Hampir seminggu berlalu sejak kejadian di sekolah Naya. Artinya, sudah hampir seminggu pula Januar tidak bertemu Calya dan mendengar kalimat galak gadis itu.
Mereka beberapa kali bertukar pesan. Seringnya, Januar yang akan bertanya pada Calya, lalu akan dibalas gadis itu dengan kalimat pendek setelah dua jam, atau kadang tidak dibalas sama sekali.
Mereka juga 3 kali berbicara di telepon, biasanya saat hampir tengah malam ketika Januar baru sampai rumah dan Calya yang harus rela menyisihkan waktu istirahat shiftnya.
Januar tidak pernah sadar bahwa dirinya bisa clingy seperti ini. Namun meski begitu, Januar menemukan dia menyukai dirinya yang baru.
Sekarang hari Sabtu, itu berarti hari libur baginya. Dan seperti yang ia duga, bukan hari libur untuk Calya. Ia baru saja menelpon gadis itu dan memintanya untuk bolos shift di resto, namun Januar harus puas dengan, "Mentang-mentang kamu bosnya, jangan belagu ya, Jan."
Calya terdengar marah. Dan Januar tidak mengerti kenapa gadis itu marah. Ia hanya meminta Calya untuk bolos supaya ia bisa main ke rumahnya. Sudah 5 hari berlalu sejak terakhir kali mereka bertatap muka dan Januar tidak bohong ketika ia bilang bahwa dirinya merindukan Calya.
Jadilah saat ini Januar duduk dengan tenang di salah satu bangku resto tempat Calya bekerja, yang kebetulan juga miliknya, sembari menatap Calya yang kini terlihat sibuk mondar-mandir membawa pesanan pelanggan.
Januar menatap calon istrinya itu dengan senyum kecil yang tidak repot ia sembunyikan. Membuat Aldo, manajer resto miliknya sempat bingung dan khawatir karena Januar yang tiba-tiba datang sendirian. Terlebih lagi, duduk diam tanpa memesan apapun dan tersenyum seperti orang kerasukan.
Jarum jam menunjukkan mendekati pukul 6 sore, keadaan resto lebih lengang meskipun masih ada beberapa yang kini memenuhi meja. Ia menatap jarum jam pada arloji yang melingkari pergelangan tangan, menghitung mundur sampai 20 ketika mendapati Calya yang kini berjalan ke arahnya dengan tatapan marah dan bibir tercebik kesal.
Januar justru ingin tertawa karena Calya tampak lucu.
"Kalau kamu disini cuma mau jadi orang freak tanpa pesan apapun, mending kamu pulang aja, Jan."
Januar menatap Calya pura-pura tidak mengerti. "Eh, emang kenapa? Kan aku bosnya. Emang salah ya kalau aku dateng buat ngecek kondisi restoku sendiri?"
Calya melempar serbet yang ia pegang ke meja di hadapan Januar.
"Dih, kita tau kalau kamu kesini cuma mau jadi mata-mata. Lagian ngapain juga sih? Tumben banget, biasanya juga nggak pernah." Calya terus saja mengoceh dengan sebal.
Di tempatnya duduk, Januar hanya bersedekap sembari menatap Calya dengan sorot tawa. "Gimana kalau kamu ganti baju dulu terus kita keluar?"
"Nggak bisa. Dua jam lagi aku harus otw buat ke kelab. Sekarang hari Sabtu kalau aja kamu lupa."
"Which is, kondisi kelabnya Sena pasti bakal rame banget," Januar membalas sembari mengangguk sekali. "Makanya aku bilang sama Sena kalau kamu ada urusan dan dia udah setuju nyari orang buat cover shift kamu."
Sebuah senyuman bangga di bibir Januar justru membuat Calya mendelik dan memukul lengannya. Melupakan fakta bahwa mereka masih di resto dan beberapa karyawan juga manager resto mampu melihat mereka.
"Kok kamu seenaknya gitu, sih?"
"Soalnya kalau ijin dulu, pasti kamunya nggak mau." Januar beralasan.
"Fungsinya ijin itu ya biar yang diajak bisa milih mau apa enggak," Calya berkata gemas. "Kamu tau consent nggak, sih?"
"Tau, kok. Tapi aku tau kamu, Calya. Kamu pasti bakal milih buat kerja sampai jam 1 malem daripada nyantai sebentar."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...