Calya pasrah saja membiarkan Sania menariknya memasuki rumah. Kakinya mengikuti Sania yang bisa ia pastikan menuju ruang dapur.
Dari belakangnya, Calya mendengar Januar dan Moira yang kini mengobrol. Dari obrolan itu, Calya bisa mendengar ketika Januar berkata bahwa dirinya adalah calon istri Januar dan Moira harus memanggilnya Aunty.
Suara cekikikan lucu milik Moira terdengar, membuat Calya dengan ekspresi panik menoleh. Didapatinya dua manusia beda generasi itu yang kini saling berbisik satu sama lain.
"Meja makan udah siap, emang bukan Mami yang nyiapin sih. Tapi baru kali ini aku liat Mami bantuin masak cuma gara-gara ada tamu." Ucapan Sania membuyarkan lamunan Calya. Jika tujuan Sania memberitahunya agar Calya merasa bangga dan istimewa, Sania gagal. Karena Calya sendiri tidak tau kenapa wanita sekelas Ria Adhyastha mau sibuk menyiapkan makan malam untuk orang seperti Calya.
"Oh? Um..."
"Tenang aja," Sania melihat ke arahnya dengan tersenyum. "Mami nggak galak kok. Dia pasti bakal suka sama kamu."
Calya hampir saja membiarkan ekspresi skeptis menguasai wajah, namun mengurungkan niat. Dari sekian banyak orang yang pernah Calya temui dan kenal, Calya akan berpikir dua kali jika harus berinteraksi dengan diri sendiri.
Calya bukan orang yang ramah dan murah senyum. Dia tetap tau bagaimana bersikap penuh sopan santun jika berhadapan yang lebih tua, tentu saja. Namun, balasan penuh sarkasme dan ekspresi datar seperti ia sangat bosan yang selalu ia tunjukkan ketika acara kumpul keluarga sering kali membuat Calya dijauhi.
Bunda sempat menasehati; bahwa Calya harus lebih terbuka. Ia mungkin perlu belajar untuk berani memulai obrolan dan lebih berinteraksi dengan sepupunya yang lain jika mereka sedang ada acara keluarga besar. Calya tentu saja akan menangguk, meskipun nasehat Bunda hanya akan masuk kuping kiri dan lolos lewat kuping kanan.
Berbeda dengan Naya yang susah berinteraksi dengan orang lain karena terlalu malu, Calya murni karena dia memang tidak ingin. Mungkin karena kebanyakan sepupunya berisi orang-orang fomo[1] dan terlalu judgmental, Calya jadi malas sendiri. Dirinya jelas bukan orang baik, ia bahkan terkadang mempertanyakan moral dan prinsip yang dia anut. Namun satu yang bisa Calya yakini, dia tidak akan menilai pilihan orang lain sebagai pilihan yang buruk hanya karena hal itu tidak sesuai dengan apa yang dia percayai. Lebih bagus lagi jika dia tau alasan kenapa orang lain seperti itu, meski ia tidak setuju, paling tidak dia tau alasannya.
"Saya ragu," Calya menyahut ucapan Sania.
Perempuan beranak satu itu menatapnya dengan alis terangkat dan senyuman miring di sudut bibir. "Nggak usah terlalu formal gitu, Calya. Aku bukan bos kamu."
Hm... kalimat terakhir, Calya seperti pernah mendengarnya.
"On serious note, Mami udah lama jor-joran nyuruh Kak Janu nikah. Kayaknya dia udah pasrah aja sih mau Kak Janu nikah sama siapa juga, yang penting bukan cowok katanya. Soalnya dia pengen punya cucu."
Calya menaikkan sebelah alisnya. "Kalau pengen cucu kan kamu udah ada?"
"Dia pengennya Kak Januar," Sania mengangkat bahunya tidak peduli. "Biar bisa liat Kak Januar ribet ngurusin bayi."
Calya hampir tertawa. Hampir.
"Eh tapi kan jaman sekarang cowok sama cowok bisa pinjem rahim orang terus program bayi tabung." Calya menyanggah.
Sania hanya tertawa sembari mengangguk. "Iya, sih. Tapi Mami nggak sepengertian itu kayaknya. Biasalah, udah mau nenek-nenek ngebet punya cucu."
Calya terdiam. Pikirannya jadi melanglang kembali pada perjanjian yang ia buat dengan Januar. Di situ tertulis bahwa jika sampai dua tahun Calya tidak merasa tertarik atau setidaknya suka pada Januar, ia bisa saja pergi dan Januar akan membiarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...