Januar masih tidak melepas pelukannya di tubuh Calya. Laki-laki itu justru menggulingkan tubuhnya ke tengah ranjang, membuat Calya yang berada di atasnya turut mengikuti.
Tubuh Calya kini terbaring di atas bed cover abu yang terasa begitu lembut menyentuh kulitnya yang terekspos.
Calya sempat dibuat bimbang, mengingat posisinya dan Januar terlihat begitu intim saat ini. Dia dan Januar belum menikah, perilaku mereka mungkin akan jadi sasaran empuk penggerebekan warga. Namun seperti yang Januar katakan, mereka berada di lantai 35 kawasan apartemen elit yang tidak akan mudah diakses sembarangan orang.
Masih ada bagian hati kecil Calya yang memberontak, memintanya untuk bangun dan pulang karena hal ini keterlaluan bahkan untuk ukuran orang sepertinya.
Sayangnya, sebagian besar hatinya, yang sepertinya menang, berkata bahwa tidak apa-apa. Toh meskipun ia belum membalas tawaran Januar, Calya sudah bulat untuk menerima laki-laki itu. Ia tahu bahwa ketika dirinya menyetujui untuk menikah dengan Januar, banyak resiko dan hal yang harus ia pertimbangkan.
Namun, melihat Januar yang kini menatapnya dengan sorot tenang dan lembut, Calya merasa bahwa mungkin tidak apa-apa sesekali mengambil resiko. Pun, jika nanti ia berujung patah hati, hal itu bukan sesuatu yang baru untuk Calya. Ia sudah pernah ditinggal orang tuanya pergi, hal menyakitkan apa yang mampu membuatnya lebih terpuruk lagi?
Ketika Januar memeluknya, Calya hanya menghela nafas, membalas pelukan Januar. Tangannya melingkari tubuh telanjang laki-laki itu, dengan kepala yang ia sandarkan di dada.
"Mikirin apa sih?" Suara Januar terdengar dari atas kepala.
"Kok kamu bisa tau aku lagi mikir sesuatu?" Suara Calya teredam dada Januar.
"Aku tau isi otak kamu nggak pernah kosong, Lya," tangan Januar mengelus kepala Calya perlahan. "Dan wajah kamu menjelaskan semuanya, kamu lagi mikirin sesuatu."
"Kalau wajahku udah ngejelasin semuanya, ngapain masih nanya?"
Pertanyaan defensif Calya justru membuat Januar tergelak perlahan.
"Bukan gitu," Januar membalas, "aku tau kamu lagi mikirin sesuatu, tapi aku nggak tau apa yang kamu pikirin. Aku bukan cenayang, jadi aku nggak bisa baca pikiran kamu. Sorry to disappoint."
Kalimat terakhir Januar yang dimaksudkan sebagai candaan membuat Calya mendengus.
"Kalau ada yang sekiranya ganggu pikiran kamu, kamu bisa bilang ke aku, Lya." Januar menambahkan. "Mungkin aku nggak bisa selalu bantuin kamu, tapi paling nggak kamu bisa keluarin semuanya dan nggak perlu mendam semua sendirian."
Calya menghela nafasnya lelah. "I know. Aku cuma khawatir aja."
"What makes you so worried, Pretty Girl?" Januar bertanya pelan sembari mengelus kepala Calya.
Calya terdiam selama sejenak, seperti mempertimbangkan apakah ia harus menceritakannya atau memendamnya sendiri.
"Tell me," Januar kembali mendesak, meski nadanya terdengar begitu lembut.
"Gimana kalau seandainya pas kita udah nikah, kamu tiba-tiba suka sama orang lain dan ngerasa kalau kamu nggak suka lagi sama aku?"
"Hah?"
"I mean, hati manusia kan nggak ada yang tau. What if one day you wake up and realize that you no longer want me?"
"I always want you, tho," Januar kekeuh.
"Okay great, but what if you were?" Calya mendongak, menatap Januar yang kini kepalanya sedikit menunduk. "Gimana kalau tiba-tiba kamu sadar kalau sama aku terlalu melelahkan dan kamu pengen berhenti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐨𝐬𝐞𝐬 & 𝐖𝐢𝐧𝐞
General Fiction[he fell first, he fell helplessly harder] Ini tentang dia, perempuan berusia 22 tahun yang dipaksa oleh dunia untuk menjadi kuat. Bahwa ia tidak boleh kalah dan jatuh terlalu lama. Menuntutnya mengerti bahwa dunia ini tidak akan berpihak meski ia t...