-
-
-BRAAKK!!!
"T-tolong ...," seru Hyeji sangat lemah. Kepalanya terbentur dasbor, samar-samar ia dapat melihat keadaan Jimin yang jauh dari kata baik. Kepala Jimin membentur kaca mobil hingga pecah dan menghantam batang pohon sampai setengah tubuhnya terpental ke luar.
Sreettt ... sebuah mobil berhenti tepat di belakang mobil Jimin. Seorang pria turun dari sana, sebelum menutup pintu ia merapikan jas hitamnya terlebih dahulu. Lalu berjalan tegap dan tenang menghampiri mobil ringsek yang sedikit-sedikit mulai mengeluarkan asap dari bagian mesinnya. Begitu membuka pintu mobil, darah segar langsung mengalir yang berasal dari betis Hyeji.
Sementara itu, Hyeji merasakan ada sepasang tangan kekar mengangkat tubuhnya. Sebelum sepenuhnya kehilangan kesadaran, samar-samar Hyeji dapat melihat wajah seseorang yang telah menyelamatkannya itu.
"Kakak," seru Hyeji lagi, begitu lemah.
Ya, itu Seokjin yang memang sejak tadi membuntutinya. Ia membawa sang adik ke mobilnya sendiri, dan bergegas pergi. Namun, sebelumnya ia telah menghubungi polisi dan memberitahukan adanya kecelakaan di jalan tersebut.
-
-Seorang dokter menepuk-nepuk bahu bidang Seokjin begitu keluar dari ruang rawat. Jelas memunculkan beberapa kerutan di dahi pria berbahu lebar itu sebagai tanda tanya. Walau dalam hati terus berharap akan mendapat kabar baik atas kondisi adiknya di dalam sana.
"Bagaimana, Dok?" tanya Seokjin penuh harap.
Akhirnya sang dokter menarik setiap sudut bibirnya ke atas yang menandakan ia membawa kabar baik. "Hmm ... di luar dugaan. Karena terjadinya benturan keras, sebelumnya kami berasumsi bahwa janinnya mungkin tidak dapat kami selamatkan. Namun, Tuhan berkehendak lain. Ibunya sudah siuman dan janinnya pun selamat," jelas dokter dengan senyum merekah, bangga atas keberhasilannya sebab dapat menyelamatkan sang pasien.
"Silakan masuk. Dia sudah menunggu Anda. Kami permisi dulu," imbuhnya sembari menginstruksi dua orang perawat yang telah membantunya di dalam.
"A--ah, terima kasih, Dokter." Seokjin segera masuk ke dalam ruang rawat begitu melihat punggung dokter telah menjauh.
Pelukan hangat yang sudah lama Hyeji rindukan kini dapat ia rasakan kembali. Hyeji melepas segala kerinduannya pada Seokjin.
"Maafkan aku, Kak," kata Hyeji seraya melerai pelukan.
"Apa yang kau sesali?" Seokjin menyimpan kedua tangannya dalam saku celana. Ia berdiri di samping brankar.
"Semuanya." Hyeji membuang muka ke luar jendela demi menyembunyikan kesedihan di wajahnya.
Seokjin menghela napas. "Lupakan. Sudah terlambat." Lalu ia duduk di tepi brankar. "Bukannya sejak awal aku sudah mengatakan padamu untuk menghentikan semuanya dan mengatakan yang sebenarnya."
Hyeji mengangguk pelan. "Ya. Memang kuakui, akulah yang salah."
"Sudahlah. Berhentilah menangis, tidak ada gunanya." Seokjin mengesat bekas air mata di pipi sang adik. Belum lama setelah itu, kebisingan terdengar dari luar. Beberapa perawat menderek brankar yang melintasi koridor ruangan Hyeji. Seokjin menoleh dan langsung menyipitkan mata begitu melihat siapa yang berbaring di atas brankar tersebut dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.
"Jimin?" gumamnya dan segera membalikkan tubuh guna mengejar kekasih dari kedua adiknya itu.
"Kakak, kau mau ke mana?"
Spontan kaki Seokjin berhenti melangkah. Tangannya yang sudah menggenggam kenop pintu pun jatuh. Kembali berbalik menghadap sang adik. "Tunggu di sini, aku akan segera kembali," ucapnya lalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie [On Going/4]
Fanfiction@Ji_Cyna.26820 "Aku yang lebih dulu. Tapi sekarang peranku sebagai pengkhianat!" Kim Hyeji sudah menjalin hubungan empat tahun lamanya dengan Jimin. Namun, entah bagaimana awalnya takdir mempermainkan, yang terpaksa membuat Hyeji menjadi pihak keti...