Part 15

103 26 56
                                    

-
-
Mendadak jantung Seokjin berhenti bekerja. "Apa!"

Sang dokter mengangguk samar. Namun, entah kenapa di detik berikutnya Seokjin terkekeh pelan. Seperti orang yang sedang kesurupan saja. Membuat wanita berjas putih di seberang menatap bingung. Cukup lama sampai wajahnya memerah bagai tomat. Seakan sedang menonton drama komedi terbaik di Korea, atau seperti tempo kecil dahulu yang biasa ia lakukan kepada adik kesayangannya --mencolek ujung hidung Hyeji dengan adonan kue di telunjuk? Ah, padahal tidak ada percakapan yang lucu, sama sekali.

"Ya, ya, saya tahu bekerja seharian memang sangat melelahkan," sambung Seokjin sambil mengangguk-angguk. Tangannya memegang perutnya yang terasa sakit karena terlalu lama tertawa. "Tapi Anda harus tetap bekerja dengan profesional. Sudah sana periksa lagi adik saya."

Dokter Han tersenyum masam mendengar celotehan pria di hadapannya. "Anda meragukan kemampuan saya?"

Seokjin membenarkan duduknya, menyimpan sebelah tangan di atas meja, kemudian menatap wajah dokter dengan seksama. "Maaf. Bukan begitu. Tapi-" Seketika Seokjin terhenyak. Menelan ludahnya yang tiba-tiba membeku dengan susah payah. Wajah yang tadinya hangat, lembut, sesaat berubah menjadi serius serta atensi menajam. "Apa? Hamil?" lanjutnya bergumam lirih. Maniknya bergerak, berkedip tak percaya.

Atensinya yang kelewat serius dilarikan sepenuhnya pada sang penghuni ranjang kecil di ruangan ini. Dipandangnya dengan seksama manik bulat nan sendu di sana, mengapa tidak ada perlawanan? Harusnya Hyeji menyangkal pernyataan atas kehamilan yang dokter tuduhkan. Jujur, Seokjin kelewat khawatir, ia berganjak memaksa tungkainya melangkah walau sedikit lemas.

"Hyeji." Kedua tangan Seokjin bertumpu pada kasur di depan sang adik yang setengah duduk. "Mengapa kau diam saja?" tuntutnya menatap iris bening yang mulai berkaca-kaca milik lawan.

"Ma-" Hyeji terisak, "maafkan aku, Kak." Air matanya jatuh setetes yang besarnya seperti sebutir jagung.

Hening.

Raut Seokjin yang susah ditebak membuat jantung Hyeji berdebar saja. Entah apa nanti yang akan Seokjin lakukan padanya. Melihat ada kekecewaan yang mendalam di kedua iris yang memerah milik sang kakak itu, sungguh membuatnya semakin bergidik.

"Kita pulang!" tegasnya menarik tangan Hyeji begitu kasar. Mengabaikan pekikan-pekikan dokter yang mewanti-wanti untuk tidak berlaku kasar pada Hyeji yang sedang hamil, apalagi dengan kondisinya sekarang yang terbilang cukup lemah.

Langkah Seokjin panjang-panjang. Atensinya fokus ke depan tanpa mau memedulikan orang-orang yang memerhatikan di sepanjang koridor. Sementara Hyeji memaksa kakinya yang masih terasa lemas itu untuk berlari kecil mengejar langkah kakaknya, yang sesekali disertai ringisan kecil lantaran cengkeraman Seokjin semakin mengerat di lengan.

-
-

Tubuh Hyeji melayang sebelum menumbuk tempat tidur begitu keras karena adanya dorongan dari Seokjin. Bruk! Pria berjas hitam itu kini berkacak pinggang, kepalanya memiring kala memandang lamat-lamat wajah lusuh adiknya yang di pipinya sudah dibanjiri air mata. Yang mana posisi Hyeji kini tengah mengangkat kepalanya dengan bertumpu pada kedua sikut.

Lantas, Seokjin membuka jas dan melemparnya ke ruang kosong di sebelah Hyeji. Kemudian duduk di pinggiran ranjang sembari mengusap wajahnya kasar lalu melonggarkan dasi yang terasa mencekik di leher.

"Jadi ini alasanmu pulang dari London? Ternyata aku membantumu kuliah di sana adalah kesalahan besar. Aku benar-benar kecewa pada diriku sendiri," desisnya yang hanya dijawab isakan kecil. "Aku sudah gagal menjaga adikku."

"Kau sangat tahu, menjadi direktur dan mengurus perusahaan bukanlah cita-citaku. Tapi tanpa berpikir dua kali aku menyanggupi penawaran ayah, semata-mata demi bisa membiayai kuliahmu, sampai kau bisa meraih cita-citamu." Seokjin meneguk salivanya. "Tapi sekarang malah kau hancurkan impianmu sendiri."

Lie [On Going/4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang