Part 2

222 55 177
                                    

Di ufuk timur matahari semakin naik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di ufuk timur matahari semakin naik. Sudah sejengkal dari tempat semula. Hyeji berdiri bersandar ke pembatas besi setinggi pinggang di hadapan. Pandangannya menyapu alam sekitar. Menyesap pelan-pelan jus alpukat di tangan kanan, yang kontan dihentikan ketika merasakan ada tangan melingkari pinggang dan memeluk dari belakang. Menyimpan dagu di ceruk leher. Kemudian perlahan menariknya ke belakang guna menghapus jarak yang tersisa. Segera Hyeji berbalik, meletakkan jus di meja kecil, lantas mengalungkan tangan di leher prianya yang kokoh. Ia sudah rapi dengan setelan jas hitamnya, rambutnya dibelah dua yang mengekspos bagian besar dahinya yang mengkilat.

Tumben sekali si bibir tebal itu datang sepagi ini. Datangnya pun diam-diam. Pria itu sangat memanfaatkan statusnya untuk bisa bebas keluar-masuk apartemen Hyeji. Meminta sandi apartemen dengan alibi agar bisa mengontrol wanitanya kapan saja, pindah apartemen pula dengan alasan yang sama. Namun yang terjadi akhir-akhir ini ia sering menyelundup masuk tengah malam, ya, walau hanya sekadar duduk beberapa saat lalu pergi. Dan, yang paling parah adalah malam tujuh hari yang lalu. Mereka berkencan hingga tengah malam, dan berakhir di atas ranjang.

"Aku ada sesuatu untukmu." Jimin mengambil sesuatu yang ada dalam sakunya. Hyeji terus memperhatikan, entah apa gerangan yang akan ia berikan. Sebuah kotak bludru hitam yang Jimin keluarkan. Hyeji menurunkan tangan yang menggantung di lehernya, saat Jimin bergerak membuka kotak tersebut, yang menampilkan cincin cantik berkilau. Ada huruf 'H' di sana. Inisial nama wanita pujaannya.

"Kuingin kau menikah denganku, maukah?" Senyumnya sungguh semringah, sebelum lenyap seketika setelah Hyeji mendorong tangannya. "Mengapa?"

Hyeji melangkah lalu duduk di kursi ujung balkon. "Aku belum siap, Jimin. Aku masih ingin mengejar cita-citaku dulu. Tolong mengertilah."

Jimin menghela napas frustasi, menyimpan kotaknya kembali lalu bertumpu di depan Hyeji duduk. "Aku sangat mengerti dirimu. Tapi Hyeji, kau sangat tahu bagaimana ayahku, sekarang dia sakit lagi. Dan untuk yang kedua kalinya ayah memintaku untuk segera menikah." Binar mata Jimin berubah sendu. "Aku hanya ingin melihat ayah bahagia, di masa-masa tuanya. Paling tidak kita bertunangan."

Hyeji sangat-sangat mengerti bagaimana kondisi ayah Jimin sekarang. Akan tetapi, ia juga ingin mengejar cita-citanya dulu. Hyeji mau bertunangan dengannya, namun acara resmi seperti itu pasti mengharuskan wanita bermarga 'Kim' itu pulang ke Negara kelahirannya. Sementara kuliahnya di sini--London--hanya tinggal beberapa bulan lagi.

Tangannya terulur menggapai pipi Jimin dan membelai lembut. "Tapi Jimin, kau juga sangat paham, kan, jika aku kabur dari rumah karena ingin melanjutkan pendidikan dan mengejar cita-citaku?" lirihnya memberikan tatapan meminta 'tuk dimengerti.

Perlahan Jimin menggenggam tangan Hyeji dan menjauhkan dari wajahnya.

"Berarti kau tidak mau bertunangan denganku?"

Lie [On Going/4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang