Part 10

130 30 104
                                    

Terimakasih sudah menghargai karya-ku :)

-
-
Kontan Hyeji memutus kontak mata dengan prianya kala melihat tatapan mengancam milik ayah yang dilempar kepadanya.

Sejatinya tidak mau berdiri di sana dan mendengarkan obrolan mereka, namun dengan sangat terpaksa Hyeji menuruti kehendak kakaknya, ikut terkaget saat mendengar pernyataan Jimin barusan. Pembatalan pertunangan, kabar yang mampu menggemparkan semesta. Bagaimana tidak? Baru tadi malam Hyeji mendapat sebuah tamparan yang bahkan panasnya masih terasa sampai sekarang lantaran tuduhan sebuah pengkhianatan, lalu keesokannya-tepatnya hari ini Jimin datang menyampaikan kabar yang kurang baik.

Sungguh hal itu menyebabkan seluruh tubuh Hyeji bergetar. Lihat saja, dari cara Tuan Kim menatap Hyeji tadi, sudah dapat dipastikan bagaimana nasibnya nanti. Wanita berparas cantik itu menunduk, mengeratkan genggamannya pada tangan sang kakak yang menyebabkan pria di sampingnya kini menoleh dengan wajah bernada tanya.

Dehaman dari Tuan Kim mampu menyedot seluruh atensi makhluk bernyawa di ruangan ini. Mata Hyeji mendelik agar bisa melihat pemandangan di depan. Kedua telinganya dipertajam dan siap merekam setiap kata yang terucap dari bilah bibir tebal kekasihnya.

"Eh- sebentar, Jimin," ralat Tuan Kim.

"Ya, Paman?"

"Aku belum mengerti mengapa kau tiba-tiba membatalkan pertunangan ini. Bukannya dari awal semuanya baik-baik saja? Paling tidak berikan alasan untuk bisa kuterima," tutur Tuan Kim menuntut penjelasan. Begitu kentara wajah panik yang tak dapat ia tutupi lagi.

Jimin menarik napas, melonggarkan dasi yang tiba-tiba terasa mencekik di leher. Meneguk saliva guna menyiapkan kalimat selanjutnya, sebagai penjelasan. Sialnya, lidah Jimin mendadak keluh. Jujur, sebenarnya tadi ia terlalu terburu-buru hingga tidak sempat untuk menyiapkan jawaban lebih dulu.

Sementara wanita dengan geraian surai panjangnya kini tengah merapalkan doa dalam hati. Semoga saja prianya di sana dapat merasakan kegelisahan di hati, untuk melindungi dan tidak menyodorkannya ke mulut singa-dengan menyebut namanya. Heran saja, mengapa oksigen di ruangan tiba-tiba hilang, sampai-sampai tubuh Hyeji seolah-olah berada dalam bungkus plastik yang membuatnya susah untuk bernapas. Sebutir keringat turun dari pelipis, cepat-cepat tangan bebasnya mengesat. Tatkala mata Park itu melirik kembali--entah sudah yang keberapa kali Jimin melakukannya--Hyeji lekas menggeleng samar, berharap mengerti agar prianya tidak membawa-bawa namanya dalam masalah ini. Namun ia hanya mendapat respons serupa senyum simpul dari si lawan.

"Ya. Tentu aku punya alasan. Tapi sebelumnya aku minta maaf, untuk alasan itu aku tidak bisa memberitahukannya di sini, ini masalah pribadiku. Kuharap kau mengerti, Paman," urai Jimin.

Perlahan Hyeji bernapas lega, walau tidak benar-benar lega. Apalagi saat melihat tajamnya tatapan sang ayah yang diberikan, mampu menghunus jantung yang bisa mematikan jiwanya secara perlahan.

"Oh, tentu. Aku sangat menghargai keputusanmu. Memang tidak semua permasalahan harus dibeberkan, musti ada yang harus kita timbun demi kebaikan. Tapi selaku kau adalah putra dari teman kecilku sendiri, aku masih berharap jika suatu saat nanti kau jadi menantuku." Tuan Kim tersenyum formal. Begitu pun dengan lawan di seberang yang seperdetik berikutnya berubah datar.

"Ya." Jimin mengangguk sekali, melirik wanitanya lagi, kemudian bergumam lirih, "Tentu."

Melihat respons sang wanita yang langsung berpaling, Jimin terkekeh lirih, menundukkan wajah demi menyembunyikan senyum indah yang mulai mengembang. Membolak-balikkan telapak tangan demi mengisi keheningan yang menyergap antara mereka, tidak ada satu pun makhluk di sana yang membuka suara, akan tetapi mendadak mata Jimin membola kala melihat jarum pendek di jam tangan mahalnya.

Lie [On Going/4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang