Part 16

102 21 55
                                    

"Hyeji!" Tangan Yuri melambai kala mendapati batang hidung sahabatnya yang muncul dari pintu depan kafe ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hyeji!" Tangan Yuri melambai kala mendapati batang hidung sahabatnya yang muncul dari pintu depan kafe ini. Ah, biasa. Seperti persahabatan anak labil pada umumnya, heboh. Mereka berpelukan, bahkan ada adegan dramatis yang bisa memalukan diri sendiri. Bagaimana tidak? Perlakuan Yuri pada Hyeji sudah seperti seorang ibu ke anaknya saja; menangkup pipi Hyeji, seolah memastikan jika sahabatnya itu baik-baik saja lalu mengesat pipinya sendiri menggunakan ujung telunjuknya seolah-olah ia telah menumpahkan air mata haru.

Ah, menjengkelkan sekali.

"Padahal baru sebulan, tapi aku merasa sudah seribu tahun tidak berjumpa denganmu, Hyeji," ujar Yuri berlebihan.

Hyeji tersenyum kecil, menarik kursi dari bawah meja, lantas duduk berseberangan dengan sahabat sejak SMA-nya. "Kau memang tidak berubah. Omonganmu selalu berlebihan," komentarnya berlalu menyeruput orange juice di hadapan. "Ah, ya. Kapan kau kembali ke Korea?"

"Aku pulang tiga hari yang lalu." Menaikkan kaki ke palang di bawah meja, sambil lalu mengaduk-aduk minuman di dalam gelas beling dan menyesapnya sedikit.

"Hebat. Kau cepat sekali lulus kuliah." Di mata Hyeji ada kekaguman yang begitu besar pada sang sahabat yang menanggapi ekspresi tersebut dengan sebaliknya.

"Tidak. Aku sama sepertimu, pulang tanpa membawa ijazah, ibuku meninggal dalam kecelakaan," tuturnya lalu menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sedih. Yuri tampak sangat menyayangkan pendidikannya yang tersendat.

"Apa? Kecelakaan berkencan?" tanya Hyeji bernada misteri. Alisnya diangkat ke atas serta matanya melebar, menanti jawaban sahabat yang menyematkan kegeraman di rautnya.

"Kecelakaan pesawat, Bodoh! Ayolah dekatkan wajahmu Hyeji, akan kupukul kepalamu menggunakan tombak besi. Kau bicara suka sembarangan, ya?" Yuri bangkit, tangannya berkacak sambil sesekali menunjuk ke arah Hyeji. Untung tempat mereka di rooftop, dan pengunjung lainnya sudah berangsuran pergi, jadi tidak ada yang melihat adegan memalukan antar sahabat itu. Serta angin yang cukup kencang juga mengintrupsi suara dari teriakannya. "Maaf, maaf. Emosiku tidak terkendali," imbuhnya kembali duduk.

"Oh, seharusnya aku yang minta maaf. Bukan maksudku begitu," balasnya menyesali. "Aku turut berduka cita atas musibah yang menimpa keluargamu, Yuri."

"Ya. Terima kasih."

"Lalu sekarang apa rencanamu?" Hyeji kembali bertanya, raut prihatinnya tampil lagi.

"Aku tidak bisa melanjutkan kuliahku lagi. Kau tahu sendiri kan, jika aku memiliki adik laki-laki yang masih duduk di bangku SD. Aku harus bekerja untuk menyambung hidup dan membiayainya, secara, kami sudah tidak punya siapa-siapa lagi," tutur Yuri terdengar menyedihkan. Menyembunyikan wajahnya yang sedih begitu dalam di bawah tundukan.

"Sabar, ya, Yuri. Aku pasti akan membantumu." Tangan Hyeji mengusap lembut pundak Yuri, menyalurkan sedikit tenaga pada pundak rapuh itu.

Yuri menepis pelan tangan Hyeji dari sisinya. "Tidak perlu. Aku sudah memutuskan apa bakatku sekarang," ujarnya penuh keyakinan. Menampakkan wajah sok tegar padahal sebaliknya.

Lie [On Going/4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang