Part 9

150 29 82
                                    

Beri kritikan, tapi jangan pedes-pedes, soalnya author gak suka cabe!:)
Jangan jadi pembaca gelap, author paling gak suka main gelap-gelapan:')

-
-

"Maafkan aku, Hyeji," begitu kata Jimin dengan berjuta penyesalan--menangkup pipi Hyeji dan membimbingnya hingga ia dapat menatap mata merah nan bengkak milik wanitanya itu.

Tiba-tiba Hyeji tertawa hambar. "Maaf? Semudah itukah? Setelah kau menyakiti hatiku begitu dalam." Ditepisnya tangan yang sedari tadi menangkup wajah, mendorong penuh emosi tubuh di hadapan sampai-sampai pria itu terjungkal ke belakang. Ia benci menatap manik kelam sang lawan. Sangat benci. Sang empu beranjak bangkit, dengan tungkai gemetar berangsur pergi.

Jimin masih terduduk dengan kedua tangan menjadi sanggahan ke belakang. "Hyeji, aku belum selesai bicara!" teriaknya sembari bangkit demi mengejar langkah wanitanya yang melesat pergi tanpa mengindahkan panggilannya.

Di bibir taman ini ia kehilangan jejak. Karena sekitaran yang gelap, serta tirai hujan menjadi salah satu alasan menghalau indera penglihatan. Jimin mendengus kesal, secepat itukah langkah kaki wanitanya itu?

Sayup-sayup ia menangkap lintasan mobil di seberang jalan. Benda beroda empat yang Jimin kenali beberapa minggu ini. Ya, itu mobil Jinhyuk. Mungkinkah, ayah dari wanitanya itu melihat semua adegan dramatis mereka di ujung taman ini? Semoga saja tidak.

Hyeji menggigil, memasuki pintu rumah dengan tubuh basah yang dari ujung rambutnya masih meneteskan butiran air

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hyeji menggigil, memasuki pintu rumah dengan tubuh basah yang dari ujung rambutnya masih meneteskan butiran air. Setelah menutup daun pintu, ia berbalik hendak menuntun tungkainya kembali melangkah lebih dalam, namun seketika wanita pemilik mata bulat itu membeku di tempat kala melihat sosok lelaki yang sangat ia hormati dengan angkuhnya duduk di sofa tunggal. Melipat kaki dengan buku majalah perusahaan dalam genggaman yang menjadi penghalau pandangan.

"Aneh sekali." Jinhyuk menurunkan kakinya, menutup majalah dan meletakkannya di atas meja. Maniknya bergulir seolah mencari sesuatu di langit-langit. "Tiba-tiba aku mencium bau-bau pengkhianat memasuki rumah ini," sambungnya masih menampilkan wajah heran yang dibuat-buat.

Sang empu tersentak mendengar kalimat yang dilontarkan ayahnya yang tidak secara langsung dilempar kepadanya. Kepalanya terus menunduk menghindari sorot tajam sang ayah yang membuat jantungnya bertalu giat, kegusaran kembali menyelimuti jiwa raga. Yang menyebabkan kaku setiap sendi-sendi tulang.

"Kau dari mana saja, Hyeji?" tanyanya kemudian yang terdengar sinis di rungu lawan. Semakin tegang saja tubuh wanita itu sembari menelan ludah yang seakan membeku.

"Aku bisa menjelaskan semuanya, Ayah," lirihnya dengan suara bergetar, tubuhnya juga.

Plakk! Satu tamparan mendarat sempurna di pipi kiri sang wanita malang, hingga membuatnya berpaling dengan bekas tangan di pipi yang kini ia pegang.

"Sayangnya aku tidak butuh penjelasan dari mulutmu lagi setelah kenyataan yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Kau menggoda Jimin, calon tunangan adikmu," kalimat mencemooh itu keluar tanpa rasa sesal setelahnya. Membuat hati yang mendengar sakit bagai teriris pisau yang sangat tajam. Jinhyuk berdiri depan Hyeji. "Kau selalu berhasil menumbuhkan kebencian dalam diriku, Hyeji."

Lie [On Going/4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang