-
-
-
Sejatinya Hyeji mulai gerah ada di sana. Berkali-kali ia menyimpang dari tatapan menajam pria tidak tahu diri itu yang berusaha menarik perhatiannya.Mendadak Hyeji disergah gelisah, kala pandangan mata itu tak kunjung beralih darinya. Ia menghela napas yang lebih terdengar mendengus kecil di telinga.
"Ayo, silakan dimakan," intruksi Nyonya Kim.
Tuan Kim mengambil sepotong daging panggang ke piring di hadapannya. Disusul oleh yang lain. Acara makan malam yang nikmat bagi dua pihak keluarga besar mereka. Kecuali Hyeji yang tampak tidak berselera mengunyah makanan di dalam mulutnya. Daging bertekstur lembut dengan bumbu yang meresap ke dalam, itu terasa hambar di lidah Hyeji.
Entahlah!
Hanya ia lah yang merasa hambar terhadap makanan yang dimakannya, atau pria yang sedari tadi sedang mengintimdasinya juga merasa demikian? Sebab tidak sedetik pun Jimin menggulir maniknya ke arah lain--tatapannya terpatri pada wanita yang sedang bersusah payah menelan makanan, kecuali jika lelaki yang mempunyai dua garis kerutan di pelipis itu mengajak bicara.
Dan, tampak sekali jika Jimin mengunyah makanan lezat itu juga penuh perjuangan. Sampai acara makan selesai, ia mengusap sudut bibirnya menggunakan tisu.
"Baiklah, sekarang langsung saja ke intinya." Tuan Kim memulai topik. "Kapan kiranya kita akan menggelar pesta besar itu untuk mengikat hubungan mereka berdua, Nyonya Park?"
"Segera." Nyonya Park melirik putranya melalui sudut mata. Mengikuti arah pandang Jimin yang tidak berhenti meniliki kakak dari calon tunangannya itu.
"Ehem!" Tuan Kim berdeham. Semua makhluk bernyawa yang ada di ruangan itu terkesiap. Atensi mereka memusat. Melihat manik kelam mengancam milik sang empunya yang menyorot pada satu objek, yaitu Hyeji. Gadis yang berperan sebagai pendamping dari pihak keluarganya itu beranjak, bergegas pergi setelah pamit dan membungkuk sejenak.
"Bisa kita lanjutkan?" sambung Tuan Kim.
"Seperti ini, Tuan Kim, kurasa lebih cepat lebih baik. Bagaimana jika waktunya kita tetapkan bulan depan saja?" ujar Nyonya Park. Lagi ia melirik putranya yang tampak gelisah. Kedua tangan Jimin mengepal dan memukul-mukul pelan pangkuannya sendiri. Sang ibu duduk memaju sedikit guna menyembunyikan gelagat putranya dari mata si lelaki Kim.
"Ya. Aku setuju." Tuan Kim mengangguk mantap.
-
-Hyeji menghampiri sang kakak yang duduk di kursi pinggir kolam. Ada secangkir kopi yang menemani santainya. Jas hitam menyampir di punggung kursi, sementara dirinya menyibukkan diri dengan benda berlayar lima inci di genggamannya. Tampak begitu serius menggunakannya, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Hyeji yang ikut duduk di seberangan meja.
Sejak kecil, pria berambut coklat tua itulah yang selalu menjadi sahabat dirinya--termasuk teman curhat. Bercurhat kepada Jin bukan lagi hal yang asing bagi Hyeji. Namun entah kenapa sekarang lidah Hyeji mendadak kaku untuk mengungkapkan seluruh isi hatinya.
Sangat tidak mungkin untuk keadaannya yang sekarang Hyeji bercerita yang sebenarnya, bahwa Jimin adalah kekasihnya dan ia tengah mengandung anak dari pria itu. Bukan mendapatkan empati, yang ada akan berujung maut karena ulahnya sendiri.
"Mengapa kau ada di sini?" celetuk Jin, bahkan atensinya masih terfokus ke benda ajaib itu.
"Kau sendiri mengapa ada di sini?" sindir Hyeji mengangkat kakinya hendak melipat pada yang lain. "Sebagai kakak laki-laki seharusnya kau ada di sana."
Jin meletakkan ponselnya di meja. Menghela napas lebih dulu, lalu berujar, "Apa keberadaanku dibutuhkan, selain bernasib sama sepertimu." Disesapnya kopi hangat dalam cangkir di hadapannya pelan-pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie [On Going/4]
Fanfiction@Ji_Cyna.26820 "Aku yang lebih dulu. Tapi sekarang peranku sebagai pengkhianat!" Kim Hyeji sudah menjalin hubungan empat tahun lamanya dengan Jimin. Namun, entah bagaimana awalnya takdir mempermainkan, yang terpaksa membuat Hyeji menjadi pihak keti...