The Fourth Alice

3.2K 290 24
                                    

Kalau bicara soal Lisa, hal yang kuingat saat masih kecil adalah orangnya yang dingin dan hanya punya sedikit teman di SD.

“kamu ini! Nyebelin! Gara-gara kamu kita dimarahin pak guru lagi!”

“kamu gak puas kita kucilin hah?”

Saat itu kita baru masuk kelas 1 SD, Pulang sekolah kulihat tiga anak mengerubungi dan membentak Lisa di sudut mati sekolah. Pertama kali melihatnya aku diam saja dan pergi karena tak ingin terlibat, tapi seterusnya aku sering melihat Lisa di sana.

“aku bener-bener benci sama kamu!!!”

“terus?” kali ini Lisa yang buka mulut, “kamu benci sama aku atau nggak itu bukan urusanku, maaf aku harus pergi les sekarang jadi aku nggak bisa ngeladenin kamu marah-marah kayak biasanya”

BUUUUKKKK

Tamparan itu mengenai Lisa dengan telak, pipinya merah dan ia terjatuh. Saat itu sebagai kakak, aku nggak bisa tinggal diam kan?.

“BERHENTI!!” kataku sambil berjalan ke arah mereka, “kalau nggak aku laporin kalian sama pak guru!!”

Para gadis yang memarahi Lisa itu terkejut, mungkin karena mereka melihat wajahku yang sama persis dengan wajah Lisa, apalagi waktu itu Lisa belum pakai kacamata. Aku mengancam mereka beberapa kali, dan karena aku jago berkelahi aku berhasil mengusir mereka pergi.

“fuuhh” aku menghela nafas sambil menghapus peluh di dahiku. Saat itu sebuah tangan menggenggam tanganku lembut, menghapus darah dari luka gores kecil di sana dan memberinya plester. Selesai melakukannya Lisa menatapku dengan tatapan datarnya.

“Maaf, kakak nggak harusnya berantem kayak tadi” katanya sambil mengambil tas yang ada di bawah.

“Biarin aja! Biar mereka masuk rumah sakit sekalian!!” kataku emosi. “kamu nggak marah digituin?”

“mereka tipe orang yang sok berkuasa di kelas, jadi aku juga gak bisa ngapa-ngapain. Tapi kadang aku seneng liat wajah shock mereka pas aku bales perkataan mereka,”

“Cih! Jangan mau digituin! Mulai besok kita pulang bareng biar kamu nggak dinakalin lagi!”

.

“Ann.. lo tidur mulu dari tadi” Suara Mia terdengar tak jauh dari telinga Anna.

“Biarin” Gadis itu berkata tak peduli.

“eh, kemaren lo ngapain aja sama si cowok bule itu? nanya nomor teleponnya nggak?” Mia kembali bertanya dengan nada semangat.

Cowok bule? Sekilas Anna teringat saat-saatnya di bianglala. Wajah cowok itu, bibirnya yang mengatakan beberapa hal yang membuat moodnya tidak baik hari ini.

“Cih, apanya yang sugesti?” Anna menggerutu, memikirkan kata-kata Firo yang diucapkan padanya kemarin.

“hah? Apa katamu?”

“Nggak, bukan apa-apa” Anna menghela nafas, “kataya lo bawa film, nonton aja yuk, sekalian nunggu bel pulang bunyi”

“Ah iya lupa! Film horor ini katanya seru loh” Mia merogoh tasnya dan mengeluarkan flashdisk, “ceritanya tentang anak yang dihantui kembarannya karena dia mengambil posisinya dan cowok yang disukainya, twist nya banyak”

Alis Anna mengkerut, “horror tentang anak kembar yang membunuh kembarannya sendiri karena masalah cowok?”

“Ya, tapi kita benar-benar tidak bisa membedakan— Hei Anna! Mau kemana?”

Crimson B. TheaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang