Bab 1 : Kepergian Abah

5.9K 406 41
                                    


Aku terpaksa jadi penambang emas liar, kehidupan keras yang tak pernah kuinginkan sebelumnya. Jujur, setelah lulus SMA dua tahun lalu sebenarnya aku ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.

Aku iri dengan Jali, anak haji Dullah si juragan sembako. Padahal si Jali ini terkenal bandel dan suka bolos waktu sekolah dulu. Tapi karena terlahir dari orang kaya, tentu saja nasib si Jali jauh lebih beruntung. Dengan duit orangtuanya yang berkarung-karung, Jali bisa menyandang status mahasiswa di salah satu universitas di pulau Jawa sana.

Aku juga kesal dengan si Mila. Gadis genit berotak kosong itu dengan gampangnya memakai jas almamater salah satu perguruan tinggi di kota. Sewaktu sekolah dulu, Mila ini hanya sibuk dengan pupur dan gincu. Ketika ditanya oleh guru bahasa Inggris, jawabannya hanya yes dan no. Tapi lagi-lagi karena punya duit, otak kosong bukanlah penghalang bagi orang seperti Mila, anak salah satu pejabat di kabupatenku.

Sedangkan aku, hanya bisa pasrah menyandang status sebagai orang miskin. Apesnya, udah miskin tetap saja tidak pernah dapat BLT dari kelurahan. Aku juga sudah malas mengurus tetek bengek administrasi yang ribet. Selalu saja kurang berkas, entah apa alasanya. Yang kutahu, BLT dan sebagainya hanya dibagikan bagi keluarga Lurah, keluarga pegawai kelurahan, juga keluarga pak RT dan kawan-kawannya yang tidak layak disebut miskin.

Lalu orang miskin sepertiku ini hanya bisa memaki dalam hati. Pasrah dengan keadaan dan menjalani pahitnya kemiskinan. Ngadu pada camat, dicuekin. Ngadu pada Bupati, tetap dicuekin. Ngadu pada Tuhan, eh...tetap dicuekin.

Mau gimana lagi, terkutuknya kemiskinan sepertinya belum mau lepas dari kehidupanku.

Sebenarnya kehidupanku pernah sedikit nyaman sewaktu Abah masih hidup. Walau tidak pernah berlebihan duit, setidaknya aku dan Ibu tidak pernah makan pakai garam. Tidak juga hanya makan daun singkong rebus selama berhari-hari. Walau setahun sekali, dulu aku juga bisa pakai baju baru sewaktu lebaran.

Kemudian Abah meninggal akibat tenggelam di sungai Barito. Jasadnya ditemukan tiga hari kemudian dengan kondisi yang sulit dikenali. Sungguh aneh, karena Abah orang yang jago berenang.

Yang kuingat, waktu itu selepas Isya Abah pamit pergi ke Lanting, rumah apung yang ada pinggiran sungai Barito. Kata Abah, beliau ingin bertemu dengan kawannya untuk membahas lokasi penambangan emas berikutnya. Namun hingga lewat tengah malam Abah tak juga kunjung balik. Hingga tersiar kabar keesokan paginya Abah terjatuh dan tenggelam di sungai.

Kata kawan-kawannya, malam itu Abah datang ke lanting sebenarnya bukan untuk membahas lokasi penambangan, tapi untuk pesta miras.  Memang beberapa hari sebelumnya usaha Abah dan kawan-kawannya sebagai penambang emas liar dapat hasil yang lumayan. Sudah rahasia umum juga, orang-orang susah itu kalau dapat duit agak lebih sedikit gak jauh-jauh dari miras.

Karena dalam kondisi mabuk, Abah yang berusaha pulang malah terpeleset di titian batang kayu dan terseret arus sungai Barito yang deras.
Tiga hari kemudian, jasad Abah ditemukan tersangkut di Lanting yang ada di bagian hilir sungai.

Ibu tidak terima, sakit hati dan hampir gila. Walau bukan orang relijius, menurut ibu, Abah bukanlah orang yang suka mabuk. Jangankan mabuk, melihat botol miras saja Abah tak suka. Waktu itu, Ibu menangis sejadi-jadinya, meraung-raung bagai orang kesurupan melihat jasad Abah yang sudah membusuk.

Selepas pemakaman Abah, berhari-hari ibu tidak makan, tidak mandi dan tidak ganti pakaian. Tubuhnya bau, jorok dan rambutnya acak-acakan. Kukunya pun semakin panjang dan menghitam karena tidak dipotong.

Bila malam tiba, aku sering ketakutan sendiri di rumah melihat tingkah ibu. Sering aku terbangun tengah malam karena mendengar suara tangis menyayat hati.

Dari balik kelambu, sambil menahan jerit aku memelototi punggung perempuan yang meratap di dapur.
Rambut yang  hitam, panjang dan terurai menyentuh lantai dengan pundak yang bergoyang akibat sesenggukan, membuat jantungku rasanya mau copot.

Aku semakin gemetaran ketika perempuan itu tiba-tiba menoleh, menatap tajam kearahku yang tengah berbaring di dalam kelambu.

Memang, rumah kami yang sempit ini tidak punya kamar. Hanya sekat ruang tamu, lalu tempat tidur yang langsung lurus ke arah dapur. Sehingga dari tempat tidur, aku bisa melihat langsung ada perempuan yang tengah duduk di dekat kompor.

"Hamid...? Kok belum tidur ?" tanya perempuan itu tiba-tiba.

"Be-belum bu." jawabku terbata. Antara kaget dan lega, ternyata perempuan yang duduk di dapur tadi bukanlah kuntilanak nyasar. Tapi ibu yang sedang berduka.

"Tidur nak...besok kamu harus sekolah." kata ibu lagi pelan. Sedih, perih dan menyayat hati. Matanya sembab karena menangis.

"Besok hari Minggu bu, sekolah libur." jawabku polos.

Ibu terlihat kaget. Sepertinya tersadar sudah hampir 10 hari ia tak pernah mengurusku. Aku dibiarkan sendiri, mencari makan kesana kemari. Bila lapar, kadang aku mencuri buah jambu di kebun Haji Rasyid. Bila apes, sumpah serapah mengiringi langkahku berlari, menghindari kejaran anak-anaknya yang membawa kayu.

Seragam putih merahku pun sudah menguning, dekil, penuh daki dan bau. Sejak kepergian Abah, kesedihan ibu membuatnya tak lagi peduli padaku. Jangankan mengurusku yang masih duduk di kelas 5 SD, mengurus dirinya sendiri pun ibu sudah tak mampu.

Untung saja ada Mang Anang, sahabat sekaligus boss almarhum Abah sewaktu bekerja sebagai penambang emas liar.

Mang Anang inilah, yang disebut anak buahnya Kapten, yang banyak membantu mengurus pemakaman Abah. Mang Anang juga yang kerap membantuku dan ibu setelah kematian Abah. Tak jarang Mang Anang mengantari kami beras, ikan asin, serta keperluan dapur lainnya.
Tentu saja ia sisipkan sedikit uang untuk ibu dan uang jajanku.

Apa yang dilakukan Mang Anang, bukan hanya sekedar belas kasihan pada anak dan istri sahabatnya. Tapi lebih rasa bersalah. Mengetahui kematian Abah, Mang Anang yang waktu itu ada di kota Banjarmasin untuk menjual emas, bergegas pulang hari itu juga.

Mang Anang mengamuk habis-habisan. Anak buahnya yang mengajak almarhum Abah untuk pesta miras malam itu, dimaki tanpa ampun.

Penambangan emas yang dilakukan oleh kelompok mang Anang pun dihentikan berbulan-bulan. Mang Anang menyesal, menyalahkan diri sendiri. Kata mang Anang, mungkin saja Abah masih hidup kalau saja ia mengajaknya ke Banjarmasin. Tapi apa mau dikata, takdir tak bisa ditolak dan umur tidak berbau.

"Terimalah, Arbayah. Tak perlu kau sungkan. Almarhum suamimu juga pasti melakukan hal yang sama untuk keluargaku. Kau juga tahu, aku dan almarhum sudah bagai saudara kandung. Kami hidup serantang-seruntung sedari masih bujang."

Tangan ibu bergetar dan matanya berkaca-kaca, ketika pertama kali mang Anang mengantarkan bantuan waktu itu. Ibu langsung bersujud dengan uraian air mata, mengucapkan beribu terima kasih pada mang Anang.

Memang sudah berhari-hari kami tidak pernah merasakan makanan manusia. Hanya memakan daun singkong rebus yang tumbuh tak terurus di samping rumah. Derajat kami hanya satu tingkat diatas kambing. Bedanya, daun singkong rebus olahan ibu ditambah garam, supaya ada rasanya.

Dan sepertinya penyakit miskin kami juga menular pada kebun singkong warisan almarhum Abah. Begitu dicabut, singkong-singkong itu tidak ada umbinya. Hanya ada kayu yang tidak bisa dimakan. Babi pun tak sudi memakannya, apalagi kami yang masih berstatus manusia.

Kembali ke mang Anang, bantuan yang diberikannya tentu saja tak bisa setiap saat. Hasil menambang emas tidak menentu. Bila hasil menambang emas cukup lumayan, maka mang Anang mengantarkan bantuan padaku dan ibu. Bila hasilnya merugi, siap-siap saja gigit jari.

...bersambung...

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang