Bab 20 : Berjalan Tanpa Arah

1.9K 234 24
                                    


Langit telah sepenuhnya gelap dan tak sedikitpun cahaya terlihat. Mungkin seperti inilah rasanya jadi orang buta, hanya bisa meraba-raba.

Tak ingin cari perkara, aku merangkak dalam gelap untuk mencari tempat yang sekiranya lapang untuk merebahkan badan.

Tanpa penerangan, sungguh usaha yang sangat sulit. Akhirnya aku berbaring seadanya, menahan perih di sekujur tubuh. Aroma khas dasar hutan yang berupa daun busuk, lumut dan tanah langsung menyengat hidung.

Aku menekuk badan untuk menahan dingin. Tubuhku menggigil hingga gigiku bergemelutuk, padahal badan telah basah dengan peluh keringat.

Dunia terasa sangat senyap, jauh dari hiruk pikuk dan keculasan manusia. Di tengah hutan ini, hanya ada suara serangga dan binatang malam dengan aktifitasnya. Sepertinya mereka sudah tidak sabar menantiku melepas ajal, lalu menjadikan bangkaiku sebagai santapan.

Aku meringkuk, memeluk lutut sambil menggigit bibir. Tanpa terasa aku pun tertidur lelap di tengah belantara, di antara pohon-pohon besar berselimut kegelapan.

*****

Riuhnya suara hutan di pagi hari membuatku terbangun. Kurasakan perih di perut, rupanya lukaku mulai membusuk. Darahnya telah mengering berwarna kehitaman, dirubungi sekumpulan lalat hitam yang besar.

Sepertinya matahari sudah cukup tinggi. Kabut tipis yang biasanya menutup hutan sudah tidak terlihat lagi.

Aku mencoba bergerak, berusaha untuk duduk. Namun,  baru saja aku mengangkat tangan, otot-otot tubuhku menegang hingga terasa sangat sakit bila bergerak sedikit saja.

Aku kembali terkapar di dasar hutan dengan tubuh yang membiru karena memar. Wajahku memucat dan bibir terasa kering.

Saat ini, aku berharap ada seseorang yang menolong. Tapi aku juga tahu, tidak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri.

Aku mencoba duduk meski perih terasa menusuk di bagian perut. Meski bersusap payah, aku berhasil menghempaskan pantat di atas tanah.

Kubersihkan dedaunan yang menempel di badan dan menepis lalat yang masih saja beterbangan di sekitar luka yang menganga.

Berpegang pada kayu yang kujadikan tongkat, aku bangkit berdiri. Tak kupedulikan rasa sakit hingga aku benar-benar bisa berpijak pada dua kaki.

Tertatih, aku berjalan tanpa arah di dalam hutan. Aku berdoa dalam hati dan melantunkan ayat-ayat suci yang kuhafal, berharap bisa menemukan sungai.

Ya, sungai. Biasanya bila ada sungai, maka akan ada perkampungan. Atau setidaknya ada pondok milik pemburu atau orang yang mencari ikan.

Aku terus melangkah menerobos belukar dan rumput liar, sambil mengingat-ingat arah sungai tempat kami diserang Tambun kemarin.

Sebenarnya aku khawatir bila tersesat,  tapi berdiam diri di tengah hutan juga bukan pilihan tepat. Akhirnya aku melangkah sekenanya saja, setapak demi setapak tanpa tahu harus kemana.

Beberapa waktu berlalu, akhirnya kudengar sayup-sayup gemericik air di kejauhan. Seketika semangatku tumbuh, kupercepat langkah menuju sumber suara.

Rasa optimis kembali datang saat suara gemericik terdengar semakin jelas. Tak kuhiraukan rasa sakit, aku terus melangkah hingga akhirnya tiba di pinggir sungai yang jernih.

Untuk sesaat rasa sakit dan khawatir terlupakan, saat sungai dengan barisan batu kali membentang di depan mata. Masih memegang tongkat, aku berjalan hati-hati di antara barisan batu tajam.

Setelah mendapatkan tempat berpijak yang cukup kokoh, aku lalu membungkuk dan menangkupkan kedua tapak tangan ke sungai.

Dengan hati-hati, air di kedua tapak tangan kutiup lalu kedekatkan ke mulut. Segera kureguk air sebanyak-banyaknya untuk membasahi tenggorokan yang kering. Rasa segar membasahi kerongkongan hingga dahagaku hilang.

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang