Bab 18 : Tangis Penyesalan

1.9K 243 42
                                    

Belitan di kaki terasa merayap, menjepit pinggang dan mencengkram leher. Tubuh lemahku meluncur deras dalam gulungan air keruh yang telah berubah menjadi sungai darah.

"Uhuuk...uhuukk..."

Seketika aku terbatuk dan memuntahkan air sangat banyak. Seolah tak percaya, ternyata aku sudah di permukaan.

"Cepat kepinggir...!"

Kapten Anang ! Dia telah menyelamatkanku. Aku segera berbalik dan menyusulnya berenang ke pinggir sungai.

Di tengah sungai, ular naga itu masih terus mengamuk melilit mangsa. Air sungai telah berubah menjadi pekat darah.

Hempasan gelombang masih menghantam tubuhku, diiringi gemuruh pusaran air yang belum berhenti. Gelombang bertubi-tubi masih menerjang tanpa ampun, membuat tenagaku semakin habis terkuras.

Untung saja, arus sungai membantuku mencapai pinggir. Begitu mencapai tepi, kapten Anang langsung meraih tangan dan menyeret tubuhku menerobos lumpur dan belukar.

Seketika aku dan Kapten Anang terbirit tanpa arah ke dalam hutan. Kami berdua terus berlari menerjang rimbun belukar penuh duri. Di belakang, entah siapa yang jadi korban.

*****

Entah sudah berapa lama kami berlari, yang jelas sudah semakin jauh ke dalam hutan. Sesekali aku menoleh ke belakang, badan sungai sudah tidak lagi terlihat.

Namun, semak belukar dan pepohonan terlihat bergoyang-goyang diiringi suara desisan yang sesekali terdengar samar. Kadang, suara desisan terdengar pendek-pendek di samping kanan. Benakku dihantam kenyataan bahwa mahluk itu masih mengejar.

Di depan, kapten Anang dengan lincah melompat ke sana kemari, menghindari batang-batang pohon tumbang yang telah membusuk.

Kelelahan, nafasku mulai tersengal dan pandanganku berkunang-kunang. Tanpa sengaja, kakiku tersangkut salah satu batang pohon yang melintang. Tubuhku terpelanting ke depan dan berguling beberapa kali, lalu terhenti saat membentur salah pohon besar yang tegak menjulang.

"Kaaapppptteeennnnnn..!!!"

Aku berteriak memanggil nama kapten hingga suaraku parau dan tenggorokanku sakit. Aku berteriak berkali-berkali namun tidak ada jawaban, hanya ada suara angin bertiup yang menggoyang dahan-dahan pohon.

Terbaring di dasar hutan, tenagaku sudah habis. Aku menengadah, menatap barisan pohon yang tegak berdiri. Bagaikan pasak-pasak kayu yang ditancapkan ke bumi, barisan pohon ini sangat rapat hingga sinar matahari pun terlihat samar di atas pucuknya.

Aku mencoba merayap, mencari tempat bersandar. Berpegang pada akar-akar merambat, aku berhasil mencapai sebuah pohon besar yang melintang dan tertutup dedaunan dan belukar.

Dengan nafas tersengal, aku menyandarkan badan di situ. Kaki kuselonjorkan dan punggung kehempas begitu saja.

Barulah terasa badanku remuk, sakit dan memar di sekujur tubuh. Lagi-lagi aku meringis menahan perih. Tubuhku terasa lemas saat kulihat potongan kayu menembus perut bagian pinggang. Kayu itu menancap cukup dalam, menembus kulit dan merobek daging. Darah merah pekat mengucur deras, bercampur tanah dan lumpur yang membalur tubuhku.

Tubuhku mulai menggigil, entah karena dingin atau karena kehabisan darah. Bagai disiram es, dingin menjalari tubuhku dari ujang kaki hingga kepala. Nafasku semakin sesak dan pandanganku semakin kabur. Tubuhku melemah dan tak bisa bergerak.

Tanpa terasa, air mataku mengalir. Bayang-bayang tangisan putri mungilku kembali datang. Senyum lembut istri dan nasehat cerewet ibu datang silih berganti.

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang