Suara gemericik sungai terdengar semakin jauh di belakang. Kaki kami terus melangkah menyusuri hutan yang penuh semak berduri. Kami harus berjibaku mengusir nyamuk dan lintah yang menempel di kulit.Teriakan kami menggema di tengah hutan, berharap ada jawaban dari mang Soleh. Anehnya, setiap kali berteriak memanggil nama bang Soleh, burung hantu selalu menyahut.
Semakin dipanggil, semakin lantang sahutan burung hantu. Hanya kebetulan, ucapku dalam hati. Berada di tengah rimba di tengah malam seperti ini membuat pikiran berimajinasi macam-macam.
Namun dinginnya angin malam membuat bulu kudukku merinding. Suara gesekan daun dan ranting yang tertiup angin juga tak kalah menyeramkan. Jujur saja, bila terlalu lama di hutan ini rasanya aku bisa jadi gila.
Beberapa kali jantungku rasanya hampir melorot, karena tiba-tiba saja di depanku muncul wajah nenek tua yang keriput. Wajah itu persis seperti wajah Mak Lampir yang ada di televisi.
"Allahu akbar !" Pekikku kaget.
"Ada apa ?" tanya kapten sambil mengernyitkan dahi.
"Gak apa-apa, Kap." balasku sambil menarik nafas lega.
Ternyata yang kulihat hanyalah kulit kayu dari batang-batang pohon besar. Diterpa cahaya temaram, kulit pohon yang kasar itu membuat otak berpikir macam-macam.
Dayat juga sepertinya dicekam ketakutan. Ayat kursi yang keluar dari mulutnya amburadul ke sana kemari.
Pikiranku semakin tidak karuan, ketika banyak sekali cahaya kunang-kunang mengitari kami. Mungkin ratusan, bisa juga ribuan. Kumpulan cahaya itu sepertinya sengaja menggiring kami semakin jauh masuk ke dalam hutan.
Saat ini yang kutakutkan bukan lagi binatang buas, tapi mahluk halus penunggu hutan. Cerita tentang kampung hantuen semakin menjadi-jadi bergelayut di kepalaku.
"Soollleehhhh...!!! Soollleehhhh...!!!"
Kapten terus berteriak lantang. Tidak dihiraukannya suara burung hantu yang menjawab panggilannya. Kapten terus memanggil nama mang Soleh berulang-ulang hingga suaranya serak.
"Kemana si Soleh ? Kenapa dia pergi begitu saja ?" tanya kapten sambil menyeka keringat di wajah.
Aku dan Dayat hanya bisa menggeleng.
"Sebaiknya kita kembali. Bahaya kalau terlalu jauh ke dalam hutan. Bisa-bisa kita tersesat. Siapa tahu dia hanya pergi sebentar lalu kembali lagi. Sebaiknya kita tunggu di sana." tambah kapten lagi.
Tanpa pikir panjang kami balik badan, kembali ke perapain tempat kami istirahat tadi.
Kabut tipis berwarna putih mulai naik, membuat jarak pandang kami semakin pendek. Kami harus melangkah hati-hati, agar tidak menginjak semak berduri atau binatang berbisa.
Di atas dahan-dahan pohon, suara burung hantu masih mengikuti. Suaranya begitu teratur, namun menakutkan. Serangga dan binatang malam lainnya juga tak kalah berisik.
Kami terus melangkah dengan pelan, menyesuaikan kondisi tubuh yang belum pulih. Kunang-kunang juga masih setia mengiringi, entah kebetulan atau ada sesuatu yang lain.
Yang jelas, rasanya sudah lebih dari setengah jam kami hanya berputar-putar saja di hutan ini. Dari tadi, belum juga ketemu bibir sungai yang kami cari.
Obor darurat yang ada di tangan juga semakin redup, membuat pergerakan kami semakin sulit.
"Kapten, ada yang aneh." ucapku sambil menghentikan langkah.
Kapten tiba-tiba berhenti, menatap wajahku dengan heran.
"Aneh bagaimana ?"
"Pohon ini, sudah tiga kali lewati. Kenapa ada di depan kita lagi ?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
HorrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB