Tak ingin beradu mata, aku balik badan dalam keadaan pura-pura tidur.
Belum hilang rasa takutku, ternyata ada sosok hitam lain yang bergerak di dalam rumah. Sosok itu seolah muncul dari kegelapan, terlihat lebih tinggi dari yang sedang bersimpuh menangis.Kraaak...kraaak...
Lantai terasa bergetar seiring langkah kakinya yang mendekat ke arahku.
Celaka ! Batinku. Rupanya kami tidur di rumah berhantu.
Aku menahan nafas saat langkah demi langkah terlihat semakin dekat ke wajahku. Tubuhku tiba-tiba kaku, ketika salah satu kaki yang penuh bulu terangkat ke udara, siap menghantam kepalaku.
Kraak...
Kaki itu mendarat pelan di sampingku, melangkah melewati badanku dan terus mendekati sosok yang sedang menangis.
"Ssstt...jangan berisik." ucap sosok yang lebih tinggi. Suara yang kukenal, rupanya mang Soleh. Sedangkan yang menangis ternyata Dayat yang sedang ketakutan.
"Jangan bersuara, ada sesuatu di luar." desis mang Soleh.
Sialan, rasa takut membuat otakku tidak berpikir normal. Hanya siluet tubuh manusia malah kukira hantu. Bergegas aku bangkit dan menghampiri mereka berdua. Tidak lama kemudian kapten Anang sudah berdiri di samping kami dengan tombak di tangan.
Di luar, bunyi cakaran telah berganti dengan suara lemparan ke dinding rumah.
Tak...tak...
Suara teror semakin menjadi, entah manusia atau mahluk halus.
Kami mengintip di celah dinding, samar-samar terlihat tengkorak berambut panjang berdiri di antara pohon pisang.
Mang Soleh memberi kode, kami pun berpencar dengan masing-masing memegang senjata di tangan.
Kapten Anang dan Dayat keluar dari pintu depan, sedangkan aku dan mang Soleh keluar lewat pintu belakang.
Entah hantu atau manusia, kami bertekad meringkus mahluk itu.Kami berjalan mengendap hingga hampir tidak bersuara. Di bawah sinar bulan, kami bergerak perlahan di semak-semak mendekati mahluk yang terus melempari rumah dengan batu.
Di depan, mang Soleh terlihat ragu melanjutkan langkah.
"Astagfirullah." ucap mang Soleh kaget.
Aku tidak melihat jelas karena tertutup kabut dan gelap malam. Samar-samar di antara rimbun pisang, tengkorak berambut panjang masih berdiri di situ.
Bulu-bulu halus di lengan dan tengkukku kembali merinding, ketika kepala tengkorak itu menoleh ke kiri dan kanan. Sepertinya, tengkorak itu menyadari kehadiran kami.
Mang Soleh lalu berjongkok dan mengambil sebongkah batu yang cukup besar.
"Bismillah." ucap mang Soleh sembari meniup batu di genggamannya. Setelah cukup yakin, batu itu ia lempar tepat ke arah kepala tengkorak tadi.
Praakk....
Kepala tengkorak itu hancur dan tubuhnya ambruk.
"Siapa di situ ?" teriak mang Soleh memecah kesunyian.
Tanpa takut, mang Soleh mendekati sisa tubuh yang tergeletak di antara rimbun pohon pisang.
Rasa takutku seketika hilang berganti keberanian. Aku segera mengiringi mang Soleh diikuti kapten Anang dan Dayat yang muncul dari arah lain.
Beberapa langkah dari posisi tubuh mahluk itu tergeletak, kami berempat
seketika kaget.Tubuh itu tiba-tiba bangkit dan melompat ke arah hutan bagai kancil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
TerrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB