Sejak kematian Abah, status keluarga kami yang tadinya hampir miskin, secara resmi dinyatakan OMB. Orang Miskin Baru.
Perlahan, Ibu sudah mulai normal, tidak jadi gila dan berhenti main kuntilanak - kuntilanakan. Aku juga sudah kembali diurus, dikasih makan, dicubit dan dipukul hingga menangis bila berbuat bandel.
"Jangan lama mandi di Barito ! Nanti dimakan Tambun, baru tahu rasa !"
...bak...buk...bak...buk...
Potongan rotan mendarat di pantatku yang tepos.
"Huu...hu...hu..."
Aku tersedu menahan sakit. Meronta dan meraung berurai air mata. Ku gosok-gosok pantat yang memar karena pukulan ibu, tapi ia tak berhenti memukul.
"Ibu jahat...ibu jahat..." teriakku dalam tangis, "aku mau abah...aku mau abah...abah tak pernah jahat. Abah tak pernah memukul. Abah selalu sayang Hamid...Huu...hu...hu..."
Pukulan ibu berhenti, rotan terlepas di tangannya. Ia terdiam, matanya berkaca-kaca. Dipeluk dan diciumnya aku tanpa suara.
Memang, biasanya aku lupa diri kalau sudah mandi di sungai.
Saat malam, diam-diam rotan ibu kubuang ke sungai kecil dekat rumahku, sungai beriwit, anak sungai Barito.
Saat pagi, ibu kebingungan mencari rotannya. Katanya buat ngangkat jemuran. Kujawab saja tak tahu.
Waktu berlalu. Satu-persatu harta peninggalan Abah sudah terjual. Motor bututnya pun sudah dijual demi beras dan menutupi utang.
Listrik dari PLN juga diputus karena tak sanggub dibayar. Bantuan dari mang Anang pun tidak selalu lancar. Bagaimana pun juga, mang Anang juga punya keluarga yang harus dihidupi.
Ibu kemudian mengampil upah sebagai tukang cuci di rumah Haji Rasyid yang hasilnya tidak seberapa. Kadang, ibu juga bantu-bantu memasak di rumah Haji Rasyid. Aku paling suka bila ibu membantu memasak, karena pulangnya bisa makan enak. Aku bisa merasakan patin, ayam atau makanan enak lainnya.
Tapi pekerjaan ibu sebagai tukang cuci di rumah haji Rasyid tidak bertahan lama. Status ibu yang janda jadi bahan gunjingan tetangga. Tukang gosipnya adalah acil Asnah. Tukang gosip kelas wahid di kelurahan Beriwit.
Beredar kabar, Haji Rasyid berniat menjadikan ibuku sebagai istri kedua. Istri Haji Rasyid mengamuk, mencaci dan menghina. Ibu dipecat dan digantikan orang lain. Penggantinya, siapa lagi kalau bukan acil Asnah.
Hari terus bergulir, tapi nasib kami sebagai orang miskin belum juga berubah. Kadang makan, kadang puasa berhari-hari. Para pedagang pun tidak mau lagi menghutangi ibu, sedangkan hutang terdahulu belum juga terbayar.
Agar tetap bisa makan, ibu kerja apa saja yang penting halal. Kadang bantu orang jualan di pasar, kadang terima jasa jadi tukang cuci pakaian orang-orang kaya.
Aku juga tidak berdiam diri. Sepulang sekolah aku langsung ganti baju lalu pergi ke dermaga, jadi buruh angkut pelabuhan. Aku juga terima jasa membersihkan rumput atau kebun milik siapa saja.
Kehidupanku dan ibu agak sedikit hampir membaik sewaktu aku duduk di kelas 2 SMP. Itu adalah kali pertama aku bekerja sebagai penambang emas liar. Sungguh ironis, ternyata aku mewarasi profesi ayahku, yang juga diwarisinya dari kakek.
Tentu saja aku ikut kelompok mang Anang, boss sekaligus sahabat Abah. Dan aku juga tidak lagi memanggilnya mang Anang, tapi kapten Anang. Entah kenapa dia dipanggil kapten, aku hanya ikut-ikutan saja dengan pekerja lainnya.
Badanku rasanya saat itu remuk. Sakit luar dalam hingga ke tulang. Dua minggu di tengah hutan belantara rasanya bagai neraka. Badan menghitam,kulit semakin dekil dan rambut acak-acakan. Sungguh pekerjaan yang tak layak bagi remaja 13 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
HorrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB