Bab 12 : Hilangnya Mang Soleh

2K 254 13
                                    


Suara sungai di hadapan kami masih terus bergemuruh. Air yang surut karena kemarau, membuat batu-batu besar dan kecil tampak menonjol di antara arus yang deras.

Di sekeliling kami adalah hutan lebat yang diiringi ribuan suara binatang yang terus berbunyi tanpa henti. Pohon-pohon besar tinggi menjulang, dengan rimbun dedaunan yang menghalangi sinar matahari ke dasar hutan.

Di sini, kami berempat terdampar dengan kondisi yang memprihatinkan. Tubuh kami penuh luka, memar dan lebam. Tanpa senjata dan penerangan, keadaan kami sungguh rapuh. Mandau, pistol dan senter sudah hilang terbawa arus.

Di antara kami, hanyalah mang Soleh yang tetap bisa berpikir tenang. Ia berhasil menangkap dua ekor ikan Sapan yang lalu dibakar dan kami makan bersama.

Dua ekor ikan untuk orang berempat tidaklah mengenyangkan. Rasanya juga aneh karena tidak ada bumbu. Tapi ikan bakar tadi sudah cukup untuk memulihkan tenaga, walau tidak seratus persen.

Berempat, kami menata batu-batu kali untuk tempat menginap malam ini. Sekarang musim kemarau, jadi tidak perlu khawatir apabila air sungai datang tiba-tiba. Bermalam di semak belukar bukanlah pilihan. Bisa saja ada ular, lintah, serangga atau hewan ganas lain yang menyergap saat kami tidur.

Andai ada pisau dan parang, tidaklah terlalu sulit untuk membuat pondok sederhana. Tapi kami tidak memiliki senjata apapun di tangan. Tubuh kami juga belum benar-benar pulih. Kami harus bertahan dengan keadaan kami sekarang.

Senja berganti malam. Suara binatang malam semakin berisik, bercampur dengan deras sungai yang bergemuruh.

"Biar aku dan Dayat yang jaga pertama. Nanti gantian kalau sudah terasa mengantuk." ujar mang Soleh sembari menambahkan ranting dan daun kering ke api unggun yang terus menyala.

Malam semakin larut dan udara terasa dingin. Tanpa selimut, tubuhku menggigil. Aku merapatkan badan ke dekat api supaya udara hangat membaluri tubuhku.

Dengan tangan dijadikan bantal, aku berusaha menutup mata. Namun sia-sia, aku tetap tidak bisa tidur. Tubuhku sebenarnya sudah sangat lelah dan lemas, tapi trauma membuatku tetap terjaga.

Di samping, kapten juga rupanya belum bisa tidur. Berkali-kali ia membolak-balikan badan, pertanda ia juga tidak tenang.

Mang Soleh dan Dayat juga terlihat gelisah. Sudah beberapa kali kulihat mang Soleh tiba-tiba berdiri dengan kayu di tangan, melempar batu ke semak belukar, lalu duduk lagi. Semakin malam, kulihat wajahnya semakin tegang.

Sedangkan Dayat dari tadi melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya putus-putus karena diiringi isak tangis tertahan. Dalam keadaan seperti ini, siapapun akan kehilangan nyali.

Lantunan ayat suci yang keluar dari mulut Dayat bukannya membuatku tenang, malah bulu kudukku tiba-tiba merinding. Seolah ada sesuatu yang sedang mengawasi kami dari balik kegelapan.

Tiba-tiba saja air mataku mengalir, teringat anak, istri dan ibu di rumah. Tak bisa kubayangkan bila aku mati saat ini tanpa sempat berjumpa dengan mereka. Entah kesedihan seperti apa yang mereka alami, bila aku mati di tengah belantara tanpa ada seorang pun tahu. Keluargaku yang malang pasti akan terus meratap tanpa henti.

Lalu bagaimana dengan mas Sugang ? Apakah ia selamat atau sudah tewas terseret arus ?

Pikiranku semakin lama semakin tidak karuan. Jangan-jangan mas Sugang sudah dibawa ke kampung hantuen. Konon, hutan-hutan lebat banyak sekali kampung hantuen. Kampung arwah penasaran dan manusia jadi-jadian.

Kudengar, mereka suka sekali menjebak manusia untuk tersesat ke alam mereka, lalu dijadikan makanan. Membayangkan semuanya membuatku semakin merinding ketakutan. Ditambah lagi cuaca dingin dan suara binatang malam membuat bulu kudukku semakin berdiri.

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang