Bab 8 : Amang Atak

2.3K 261 32
                                    


"Aaarrrrrggghhhhh....!!!"

Perlahan, tubuh mas Sugang tenggelam ke dalam air. Tangannya menggelegap di atas permukaan, berusaha pertahankan hidup.Sekuat tenaga aku menarik tubuhnya yang terkulai tak berdaya.

Dengan sebatang kayu, Dayat membabi buta memukul tubuh mahluk yang tengah menindih tubuh mas Sugang.

Praak...!
Praak...!

Kayu ditangan Dayat patah. Tak puas, Dayat kemudian menendang berkali-kali hingga terdengar rintih kesakitan.

"Ampun...ampun...tolong...!" mahluk itu memelas.

"Hah !?"

Aku, Dayat dan mas Sugang terbengong bersamaan.

"Biyangane !!! Jebole manungso !" mas Sugang bergegas berdiri dengan tubuh basah kuyup.

Kapten Anang, mang Soleh dan lainnya berhamburan begitu mendengar jerit mas Sugang. Setiba di pinggir sungai, mereka ternganga melihat ulah kami. Senjata ditangan mereka kembalikan ke sarungnya.

"Tiwas meh ta pateni, jebule manungso ! Nek ora, tak lempit-lempit ndase. Biyangane setan alas !"

Mas Sugang segera melangkah ke pinggir sungai, sambil memaki dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti.

Di hadapan kami, tergeletak sesosok tubuh yang terkulai tak berdaya. Menggunakan jaket hitam dengan penutup kepala, kukira ia adalah hantu dengan mulut vertikal.

Bersama yang lain, aku dan Dayat menyeret tubuh penuh luka itu ke pinggir sungai.

"Loh, Atak ? " ujar kapten kaget.

"Atak !?" timpal mang Soleh dan mang Muksin hampir bersamaan.

"Atak !?"
"Apa benar si Atak ?"
"Ternyata Atak toh ? Ternyata masih hidup."

Kecuali aku dan Dayat, yang lain rupanya mengenali sosok yang barusan kami tolong.

"Lekas bawa ke pondok, kita selamatkan si Atak !" Perintah kapten panik.

*****

Waktu menunjukkan pukul 12 malam lewat beberapa menit. Hanya mengenakan sarung, tubuh mang Atak kami hangatkan di luar pondok, di depan api unggun yang menyala-nyala. Saat pakaiannya dilepas, tubuh mang Atak penuh luka gores. Hanya luka ringan, tidak ada luka berat meski pakaian yang dikenakannya telah robek di sana-sini.

Mang Atak ini, usianya kuperkirakan sepantaran kapten Anang, mang Soleh dan mang Muksin. Andaikan masih hidup, usia almarhum abah pastilah sama dengan mereka, sekitar 40 tahun lebih sedikit.

"Kukira si Atak ini menghilang kemana, gak tahunya di sekitar sini saja."

"Kukira ia sudah mati, ee...ternyata masih hidup."

"Tak disangka, rupanya ia masih berani menampakkan batang hidungnya di daerah kita."

Desas-desus tentang mang Atak semakin berhembus. Bapak-bapak di depanku ini rupanya tak kalah dengan perempuan, suka bergosip. Semua membahas masa lalunya, tak satu pun yang bertanya-tanya kenapa mang Atak bisa terdampar di sini.

"Ehm...ehm...!"

Kapten berdehem keras. Dengan pistol di tangan, kapten memandangi mereka sambil melotot. Suara-suara miring yang dialamatkan pada mang Atak kembali hilang. Hanya ada saling lirik dan saling sikut, agar mereka tak bersuara.

Yang kucuri dengar, mang Atak ini dulu rupanya salah satu anak buah kapten Anang. Ia merupakan salah satu kawan serantang seruntung almarhum abah bersama kapten Anang. Setelah Abah meninggal, ia menghilang entah kemana. Ia bahkan tak melayat saat pemakaman Abah. Polisi sempat mencurigainya, namun kapten Anang bersikukuh bahwa mang Atak bersamanya di Banjarmasin, saat ayah terjatuh di sungai.

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang