Bab 10 : Bertahan Hidup

2K 247 12
                                    


Door...!!!

Pistol kapten kembali menyalak, menggema di hutan yang sunyi.

Burung-burung berhamburan dan kumpulan monyet segera melompat dari pohoh ke pohon karena ketakutan. Pucuk-pucuk dahan bergoyang dan daun-daun luruh ke tanah.

Hutan yang tadinya senyap, mendadak riuh. Teriakan hewan yang berisik terasa menyakitkan telinga.

Di depan kami, macan itu terjengkal beberapa meter ke belakang. Penuh darah, mahluk itu merintih kesakitan menanti ajal.

Kami sedikit lega, sekali lagi nyawa kami selamat. Kapten melangkah pasti, sambil terus mengarahkan moncong pistol ke macan yang sudah tak berdaya.

Begitu telah dekat, kapten sekali lagi menarik pelatuk, memastikan hewan itu benar-benar mati.

Ada rasa kasihan saat kulihat mahluk itu merintih-rintih bermandikan darah. Mahluk itu mengerang lemah, seolah memohon ampun. Kulirik, air matanya mengalir pelan.

Kapten tak peduli, pistol itu arahkan ke kepala macan yang tergolek lemah. Aku menutup telinga, tidak tahan mendengar suara letusan.

Ceklek !

Pistol kapten tak mau menyalak.

Ceklek ! Ceklek !

Dipaksa berkali-kali, pistol tetap tidak meletus. Gusar, kapten segera memeriksa wadah peluru yang berputar. Kosong ! Kapten memaki sejadinya. Persedian peluru tertinggal di pondok kami yang telah jadi arang.

Entah kenapa aku sedikit lega, mengetahui hewan itu masih ada harapan hidup.

Grrrrhhhhhh.....Grrrrhhhhhh....

Namun kelegaanku lenyap seketika, saat kembali terdengar geraman macan dahan yang marah.

Grrrrhhhhhh.....Grrrrhhhhhh....

Kami kembali cemas, karena suara itu jelas bukan berasal dari macan yang ada di depan. Suara itu ada di suatu titik di belukar di sekeliling kami.

Waspada, kami kembali mundur setapak demi setapak. Senter kami arahkan ke kiri dan kanan, menyusuri tiap semak dan pohon. Kosong, tidak ada apapun yang terlihat kecuali suara geraman yang sepertinya makin mendekat.

Kreek....

Terdengar suara ranting patah, membuat kami semakin khawatir tidak karuan. Tubuhku kembali berkeringat dan nafasku memburu. Langkahku terasa berat dan kakiku seakan tak mampu lagi menopang tubuhku.

Aku sadar, mahluk itu tengah mengincar kami dan bersembunyi di balik rimbun belukar, tertutup malam yang sangat pekat.

Di depan, macan yang terluka terus merintih seolah meminta bantuan.

"Allahu akbar....Allahu akbar..."

Mas Sugang tak henti mengucapkan takbir. Sedangkan Dayat terus melantunkan surat-surat pendek, seakan yang kami hadapi adalah hantu dan bukan binatang buas.

"Laarrriiii...!!!"

Kapten berteriak kencang, lalu lari tak tentu arah. Tubuhnya melesat cepat menembus semak berduri disusul yang lain. Tanpa pikir panjang, aku segera menyusul tanpa sadar apa yang terjadi. Dalam pikiranku saat itu adalah yang penting bagaimana bisa selamat.

Di belakang, suara geraman terus mendekat. Sangat cepat, suara geraman itu seakan siap menerkam kapan saja. Bisa saja itu pasangan macan tadi. Semak belukar bergoyang-goyang dan suara binatang kembali ribut.

Di depan, cahaya senter tiba-tiba menghilang dan berganti teriakan yang sangat kencang.

Aaaarrrrgggghhhh.....!!!

Suara jeritan terdengar sangat menyakitkan lalu menghilang begitu saja.

Aku mulai ragu melangkah namun tak ada pilihan. Aku terus berlari karena suara geraman yang mengejar tak juga berhenti.  Entah apa yang terjadi di depan, namun aku tak berhenti berlari.

Di depan, terlihat tiga orang berdiri dengan raut wajah ragu menatap ke arahku. Hanya ada kapten Anang, Dayat dan mang Soleh. Entah di mana mas Sugang. Mungkin teriakan tadi adalah suaranya.

Aku terus mendekat hingga terdengar sayup-sayup suara deras arus air. Sungai, batinku. Namun di mana?

Rupanya mereka berdiri di bibir tebing. Tak tahu berapa meter tingginya, yang jelas di bawah tebing itu adalah sungai yang mengalir deras. Bisa saja mas Sugang sudah terjatuh. Semakin dekat, deras arus sungai semakin terdengar kencang.

Suara geraman yang mengejarku tak juga berhenti, namun tak terdengar suara langkah kakinya. Sepertinya ia berhenti mengejar, namun tetap mengancam. Bisa juga siap menerkam.

Tiga orang di depan terlihat tegang, sepertinya mengetahui kalau aku akan jadi korban.

Aku langsung balik badan, untuk memastikan keberadaan mahluk itu. Benar saja, macan dahan itu mengambil ancang-ancang siap menerkam.

Hewan itu mulai merunduk, menghitung jarak untuk menerjang. Barisan gigi tajam dan taring panjang terlihat jelas, siap merobek leherku kapan saja. Belum lagi cakar-cakarnya yang tajam, siap merobek perut dan kulitku.

Tak mau gegabah, aku mundur perlahan, selangkah demi selangkah. Aku mengatur nafas agar tidak bertambah panik.

Macan itu semakin mendekat, bergerak ke kiri dan ke kanan, mencari celah untuk menerkam. Di belakang, deru nafas tiga orang terdengar sangat kencang. Jelas sekali kalau mereka juga ketakutan, namun tidak tahu harus berbuat apa.

Celaka ! Kami benar-benar berada di posisi yang sulit. Di belakang, ada jurang yang sangat dalam. Bisa saja sungai yang mengalir dipenuhi batu tajam.

Di depan, ada hewan ganas yang merupakan predator puncak di hutan Kalimantan.

"Kap...? Gimana kapten ?" tanya Dayat ketakutan.

"Bismillah saja...kita melompat ke sungai." sahut Kapten cepat.

Tanpa pikir panjang, Kapten langsung melompat ka dalam jurang sambil mengucapkan takbir.

"Allahu akbar...!" pekik Kapten Anang kencang, lalu menghilang tertutup suara deras sungai.

Tak lama, mang Soleh menyusul sambil memekikan takbir dan tertinggal aku dan Dayat.

Rupanya ulah Kapten justru memancing macan itu semakin marah. Macan itu melompat, tubuhnya melayang di udara. Terlihat jelas, giginya yang tajam mengarah ke leherku.

*****

Aku terdiam beberapa saat, hingga tersadar ada tangan yang menarik tanganku sangat kencang. Macan itu mendarat di tanah kosong, sedangkan Dayat telah menyeret tubuhku untuk melompat ke arah jurang.

Aku hanya memejamkan mata, tidak sadar apa yang terjadi. Hembusan angin terasa sangat kencang memukul pipiku. Tubuhku lemas tanpa tenaga, aku benar-benar pasrah menunggu kematian. Kakiku terasa kosong karena tidak menapak tanah.

Bersama Dayat, aku melayang di udara. Tubuh kami meluncur deras ke dasar jurang yang tidak terlihat, hanya terdengar suara arus sungai yang deras.

Semakin tersadar, semakin terasa kalau kami belum juga menyentuh dasar jurang. Entah berapa meter dalamnya, tiap detik terasa sangat lama.

Bayangan kematian kembali menghantui, jarakku dengan maut hanyalah sejengkal. Tanpa terasa air mataku mengalir teringat anak dan istri. Mungkin, aku takkan pernah lagi berjumpa dengan mereka.

Byurrr.....!!!

Tiba-tiba saja tubuhku sudah berada dalam air, berputar-putar diseret arus dalam. Aku gelagapan mencapai permukaan, namun tanganku sulit digerakkan. Sikut dan kakiku terasa sakit karena membentur batu tajam. Kepalaku terasa perih dan pelipisku mulai berdarah.

Semakin bergerak, badanku semakin terasa remuk. Tubuhku terhempas kesana kemari di dalam air, diseret arus yang membenturkan tubuhku ke batu-batu sungai yang tak terlihat.

Tubuhku terus berguling di dalam air dan nafasku terasa semakin sesak. Sial, air telah masuk ke dalam paru-paru.

Aku akan mati, batinku. Aku akan mati...aku akan mati, kataku dalam hati sambil terus menangis.

...bersambung...

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang