Bab 17 : Ular Naga

1.9K 239 21
                                    

Berdebar-debar rasa jantungku, melihat rumah tempat tadi istirahat berguncang hebat. Jerit kesakitan dan suara tubuh terbanting terdengar jelas dari dalam rumah.

Praakk.. braak...braak...

Atap tiba-tiba ambruk mengeluarkan bunyi menggelegar. Dinding-dinding kayu mulai koyak, beterbangan ke sana kemari.

Kreeeeeettt....

Sebuah tiang penyangga roboh, tepat menyasar tubuhku. Aku berguling ke kanan, menghindari hantaman kayu ulin yang meremukan tulang.

Braakkkk...!!!

"Aaaaaaaarrrgghhhh !!!"

Seketika aku menjerit. Kurasakan sakit di pergelangan kaki kiri. Kayu ulin sebesar paha menggenjet kakiku, menyebabkan perih sampai ke tulang.

Sekuat tenaga aku mengangkat kayu itu, namun sungguh berat bagai tiang besi.

"Aaaaaaarrrggghh !!!!"

Aku berteriak sekeras-kerasnya, berharap ada yang menolong. Percuma, tidak seorang pun datang. Hanya ada puing-puing kayu yang terlempar akibat amukan Tambun.

Kreekk...Kreeekk...

Aku semakin panik, saat tiang kedua mulai bergoyang-goyang. Tak ingin mati konyol, kukerahkan tenaga sampai nafasku sesak.

Kreek...kreek....

Tiang ulin terus bergoyang-goyang, membuat nyali semakin ciut.

Jantungku berdetak cepat dan nafasku memburu. Berpacu dengan waktu, kukumpulkan tenaga hingga keringatku mengucur.

Usahaku mulai membuahkan hasil, kayu ulin yang menimpa kaki perlahan terangkat.

Begitu ada celah, segera kutarik kaki dan kayu ulin itu kutendang menggunakan kaki kanan ke samping.

Dengan susah payah, akhirnya kakiku terbebas walau penuh luka. Segera aku bangkit, demi menyelamatkan nyawa yang di ujung tanduk.

Namun terlambat, baru saja berpijak pada dua kaki, tiang kedua roboh menyasar tubuhku. Kakiku gemetar tak bisa bergerak. Dalam kepalaku yang terbayang hanyalah kematian.

Kreeekkkk...

Suara tiang patah terdengar kencang memekakan telinga. Spontan aku menyilangkan kedua tangan, berusaha melindungi kepala.

Kreeekk....braaak...

Tanah terasa bergetar ketika tiang itu menghantam tanah, tepat sejengkal di samping tempatku berdiri. Aku bergidik ngeri dan bulu kudukku merinding. Nyaris saja, batinku.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil langkah seribu. Menahan perih, kupaksakan kaki berlari secepat yang kubisa.

Mengandalkan cahaya bulan dan bintang, aku berlari sangat kencang mengejar mang Soleh yang telah jauh di depan. Di belakang, jerit memelas minta tolong sayup-sayup terdengar lalu menghilang. Terdengar sangat perih dan menyayat hati.

Entah siapa yang jadi korban, yang kupikirkan hanyalah keselamatan diri sendiri.

Tak kupedulikan nyeri di kaki, aku berlari dan terus berlari menembus pekat malam hingga tiba di pinggir sungai.

"Cepaaat...!!! Cepaatt...!!!" teriak Dayat dari atas jukung yang sudah mengapung di sungai.

Byuurrr...!!!

Aku melompat ke sungai dan segera berenang mengejar perahu jukung yang mulai menjauh.

Terlalu letih, kurasakan tenagaku semakin lemah hingga sepasang tangan menyeret paksa tubuhku ke atas jukung.

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang