"Berhenti...! Sudah cukup !" Kapten Anang memberi perintah.Suara bising mesin penyedot langsung berhenti, berganti keributan yang tak sabar ingin tahu hasil percobaan kami.
Bergegas, aku, mang Muksin, mang Mursyid, mang Soleh, melepas karpet penyaring dari papan kasbuk. Karpet penuh pasir kami cuci dalam ember, bercampur air dan deterjen.
Sedangkan yang lain sibuk merapikan peralatan tambang yang berantakan kesana kemari.
Mang Mursyid, pendulang terbaik langsung mengerjakan keahliannya.
Wajah kami berbinar, saat butir-butir emas mulai terkumpul di papan dulang, berkilauan terkena sinar matahari.Setelah dimasak dengan raksa dan ditimbang, emas yang terkumpul 12 gram. Yap...12 gram. Hasil yang menjanjikan untuk sebuah percobaan.
"Lihat...baru 1 jam bekerja kita sudah dapat 12 gram. Apalagi kalau seminggu, bisa 1 ons. Bisa juga 1 kilo, huwaha..ha...ha...!!!"
Kapten Anang tergelak melihat hasil percobaan kami. Wajahnya sumringah penuh kebahagiaan.
Sorak sorai kegembiraan menghampiri semua orang. Rasa lelah dan khawatir hilang begitu saja. Kami lupa akan mayat yang mengapung di sungai. Kami juga lupa ada kepala buntung yang copot dari badan. Yang ada di otak kami hanyalah emas dan emas.
Butiran emas kemudian dimasukan dalam botol kaca kecil, lalu disimpan dalam peti yang hanya boleh dipegang kapten.
"Ayo...! Saatnya kita makan. Setelah itu kita bangun pondok." ucap kapten Anang.
Kami lalu melangkah menuju Lai dan Dayat yang sedang berdebat panas. Bagai anjing dan kucing, dua orang itu memang tak pernah akur.
"Ada apa lagi kalian ribut-ribut !?" Lantang kapten menghardik, membuat ciut nyali yang mendengar.
"I-ini kapten. Si Lai, mau ngebakar terasi."
"Tak enak lah lai, makan sambal tanpa terasi. Mengecil nanti lubang hidungku."
"Sudah ! Sudah ! Tak boleh ada terasi di tengah hutan !"
Merajuk, si Lai menjauh membawa piring penuh nasi dan lauk menuju pantai di pinggir sungai.
" Lai...! Jangan lupa lempar sedikit nasi buat penunggu hutan !" ucap Dayat sambil berteriak.
Si Lai hanya diam, tak peduli pekikan Dayat. Diam-diam, ia kembali membakar terasi.
*****
Siang berganti senja. Senja berganti malam. Sebuah pondok sederhana sudah berdiri di pinggir sungai. Beratap terpal, berdinding spanduk caleg gagal serta berlantai kayu bulat beralas tikar. Sebuah lampu strongking menyala terang, tergantung di tengah pondok.
Selama 10 hari kedepan, di pondok tak layak huni inilah kami bernaung. Dingin sudah pasti, nyamuk apalagi. Hujan tak perlu risau karena sekarang musim kemarau.
Dari hutan, suara burung hantu saling bersahutan, beriringan dengan suara serangga dan binatang malam.
Esok pagi, kami sudah mulai bekerja mencari butir-butir emas. 5 orang bekerja dari pagi hingga malam. 5 orang bekerja dari malam hingga pagi. Hari jumat kami libur bekerja, lalu berganti giliran.
Di luar pondok, di atas kayu, aku duduk dengan segelas kopi panas.
Di tengah pantai, mang Soleh dan si Lai tampak sibuk sendiri. Entah apa yang mereka lakukan, dua cahaya headlamp menyala terang di dalam gelap.
Aku menatap langit, penuh bintang dan bulan yang hendak purnama. Pikiranku kembali pada rumah, ibu, istri dan putri mungilku.
Akkh...! Putri mungilku !
Rinduku membara, menyala-nyala bagai api. Semakin rindu, semakin pilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
HorrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB