"Kita tak usah ikut campur. Biar koramil yang dihilir sana yang mengurus."Kami sepakat dengan ucapan kapten. Hanya Dayat yang tampak resah, terlalu percaya pada takhayul yang tak berguna. Kacamata yang hampir lepas kembali ia benarkan.
Malam buta itu kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah hulu. Dua mayat kami biarkan mengambang di tengah sungai, hanyut terbawa arus dan berharap warga desa di hilir yang mengurusnya.
Malam berganti pagi. Suara monyet dan binatang hutan saling bersahutan dari kiri dan kanan sungai. Melewati beberapa desa, penduduk sudah sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang mandi, ada yang mencuci, ada juga yang menjala ikan.
Kami tak berhenti, tak pula beristirahat. Sarapan kami lakukan di dalam klotok, menikmati bekal nasi bungkus yang kami bawa tadi malam.
Bila tak salah perhitungan, kami akan sampai di tujuan sebelum tengah hari. Kami harus berpacu dengan waktu, sebelum Polair berpatroli mencari mangsa.
Sungai Barito semakin sempit dan surut. Batu-batu besar mulai bermunculan di tengah sungai, menimbulkan pusaran air dan riam ganas.
Kelotok bergerak berhati-hati menyesuaikan arus sungai. Untung saja 3 buah kelotok kami memiliki juru mudi yang berpengalaman. Mereka pandai membaca arus, jago memprediksi dimana celah-celah batu tajam bersembunyi.
Bagi orang kota, bertemu riam ganas seperti ini bisa saja mati terkencing-kecing. Namun bagi kami yang terbiasa, bertemu riam ganas tidaklah terlalu mengkhwatirkan.
Bahkan si Lai yang jauh dari tanah Batak sudah terbiasa. Begitu pula mas Sugang, orang Jawa yang sudah puluhan tahun merantau dan beranak pinak di sini. Sebenarnya nama aslinya adalah Sugeng. Tapi karena 'e' terlalu sulit bagi kami orang Kalimantan untuk mengucapkan, jadilah namanya Sugang. Dan ia adalah satu-satunya yang berambut gondrong di antara kami.
Lolos dari riam, 3 kelotok kembali melaju kencang. 2 jam berlalu, kelotok akhirnya berbelok ke arah kanan, masuk ke dalam anak sungai.
"Lihatlah, kita sudah sampai di sungai Busang."
Duduk di dalam kelotok, mata kapten Anang berbinar melihat sungai Busang, seperti melihat hamparan kilau emas. Sebatang rokok tersemat di jarinya.
"Tahun 90an, daerah ini pernah terjadi skandal besar. Tidak tanggung -tanggung, skandal kelas dunia."
Aku terkejut mendengar ucapan kapten Anang. Baru kudengar ada skandal kelas dunia di tanah kelahiranku.
"Waktu itu, Kopassus sampai turun tangan. Entah apa yang mereka lakukan. Katanya, banyak para petinggi marah. Orang-orang bule, orang-orang penting, orang-orang berduit."
Kapten terlihat gusar. Rokok ia hisap, lalu asap keluar dari mulutnya.
"Hamid...tanah kita ini sangat kaya. Banyak orang luar mengincarnya. Sedangkan kita penduduk asli, diburu bagai binatang. Hanya demi sesuap nasi, kita terpaksa jadi pencuri di tanah sendiri. Dicap ilegal, dibilang merusak lingkungan.
Lihatlah perusahaan-perusahaan itu, tegak berdiri dengan sombong. Lihat jalan kita, tak ada bedanya dengan kubangan babi. Listrik pun tak ada. Cuiih !"
Murka, kapten Anang meludah ke dalam sungai.
...dug...dug...dug...
Aku dan kapten kaget setengah mati ketika terjadi benturan di badan kelotok.
Hampir saja aku memaki, sewaktu kudapati Dayat merangkak terburu-buru ke arah kami. Bercucur peluh, wajah Dayat terlihat panik. Baju hem yang ia kenakan basah karena keringat.
"Ada apa ?" tanyaku gusar. Mataku melotot.
"Ada ular lagi ?" tanya kapten sedikit mengejek.
"Bu-bukan kapten. Tapi pakahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
KorkuSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB