Bab 9 : Tambun

2.2K 253 16
                                    


Semakin lama, pusaran air semakin besar dan membentuk gelombang yang mengerikan.

Kapten Anang memberi kode, kami melangkah mundur perlahan. Pistol terus ia arahkan ke pusaran air. Kami semua menahan nafas dengan rasa cemas.

Tubuhku menggigil, entah karena udara dingin atau rasa takut yang datang tiba-tiba.

Byurrr...!!!

Tiba-tiba mulut besar menganga dengan gigi tajam muncul dari dalam sungai.

Arrrrgggghhhhhhh....!!!

Kembali terdengar jerit kematian, entah siapa yang jadi korban. Tanpa menunggu perintah kapten, kami berlari kencang ke dalam hutan. Kami terbirit menyelamatkan diri masing-masing, hanya mengandalkan cahaya senter yang minim.

Di belakang, teriak kesakitan silih berganti menggema, bersahutan dengan suara gaduh binatang yang ketakutan. Satu-persatu, rekan kerjaku diseret ke dalam sungai.

*****

Entah sudah berapa lama kami berlari menerobos belantara yang lebat ini. Di langit, cahaya masih gelap tertutup rimbun pohon yang tinggi menjulang.

Suasana di sekitar sangat gelap. Tidak ada apapun yang terlihat kecuali cahaya senter dan headlamp yang semakin redup. Aku melirik ke kiri dan kanan, batang-batang pohon besar bagai mahluk raksasa yang mengawasi langkah kami.

Kini hanya tersisa kami berlima, aku, kapten Anang, mang Soleh, Dayat dan mas Sugang. Tubuh kami semakin lelah dan langkah kaki terasa semakin berat.

"Berhenti ! Kita istirahat sebentar. Mahluk itu sepertinya tidak mengikuti." kata kapten Anang dengan nafas ngos-ngosan.

Kapten Anang langsung duduk bersandar pada sebuah pohon besar. Peluh keringatnya bercucuran dengan suara nafas yang kentara di tengah kesunyian.

Kami lalu beristirahat untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Tidak ada yang tahu kami sekarang ada dimana. Yang jelas, kami sudah berada jauh di dalam hutan, berharap mahluk itu tidak mengejar.

Mang Soleh kemudian berdiri, dengan sebilah mandau ia memotong akar pohon yang menggantung hingga airnya keluar. Segera saja kami berdiri untuk meminum air dari akar gantung itu bergantian.

Mang Soleh memotong beberapa akar lagi, hingga tenggorokan kami benar-benar basah. Tubuh kembali terasa segar ketika air mengalir ke dalam tubuh, tetes demi tetes.

"Kita istirahat di sini, sambil menunggu terang." ucap kapten sembari menyeka air di bibirnya.

"Yang penting jangan tertidur. Kita hanya perlu memulihkan tenaga. Bisa saja, monster itu tengah mengintai entah dimana." sahut mang Soleh.

Tanpa banyak bicara, kami semua duduk bersandar di sebuah batang pohon besar. Bau khas daun-daun busuk di dasar hutan segera menyeruak.

Kami semua terdiam, menyadari bahwa kami baru saja lolos dari maut. Lai, Ali dan Nurdin, telah meregang nyawa diseret monster sungai. Sedangkan mang Muksin dan Mursyid, telah kabur bersama mang Atak. Entah apa yang mereka rencanakan, yang pasti kami telah dijadikan umpan agar mereka bisa melarikan diri.

Di samping, mas Sugang mulai menangis. Matanya berkaca-kaca sambil menggigit bibir. Di tengah kegelapan, pundaknya berguncang karena menahan isak.

"Karma....ini karma. Ini pasti kutukan. Kutukan atas dosa kita..."

Entah karena menyesal atau takut, mas Sugang mulai bicara ngelantur.

"Sugang, Diam ! Jangan ngelantur !" bentak mang Soleh.

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang