Meski tertatih menahan perih, aku bergegas mendekat untuk meloloskan ikatan kapten. Baru beberapa langkah, instingku mengatakan ada yang tidak beres di belakang, terdengar suara langkah kaki mengendap-endap. Aku menarik nafas panjang, mengucap asma Allah dalam hati.
Ceklek...
Benar saja, terdengar suara kokangan senjata yang sepertinya diarahkan tepat ke kepalaku. Seketika aku mengangkat tangan tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
Penuh ketegangan, aku mengatur nafas agar tidak gugup dan salah langkah.
"Berbalik pelan-pelan kalau ingin selamat."
Suara di belakang terdengar berat, namun sepertinya tidak asing. Perlahan, aku mengikuti perintah suara yang sepertinya kukenal sambil berdoa dalam hati.
Aku terhenyak dan hampir hilang keseimbangan, begitu mengenali lelaki yang kini berdiri di hadapanku.
"Hamid !? "
Suara pria itu terdengar ragu. Dengan sepucuk pistol di tangan, matanya yang tajam mengamati jengkal demi jengkal wajahku yang penuh lebam.
Aku menelan ludah, cemas kalau pistol ditangannya meletus sewaktu-waktu.
"I-ia mang. Ini aku, anaknya mendiang Ramadhan." sahutku terbata.
Mang Atak memicingkan mata, seakan masih tak percaya bahwa aku masih hidup.
Kulihat, keadaan mang Atak tidak jauh berbeda denganku. Badannya penuh luka memar dan lebam, jelas sekali ia juga telah mengalami hal buruk.
Dengan memanggul tas punggung, jemarinya bergetar memegang pistol yang diarahkan ke tubuhku. Tapak tangannya terlihat basah karena keringat, membuat nyaliku semakin ciut. Bisa saja jarinya terselip dan pistol itu meletus tanpa sengaja.
"Duduklah, dan jangan coba-coba macam-macam." perintah mang Atak pelan. Matanya melotot menandakan ia serius.
Tak ingin gegabah, aku mengikuti perintahnya. Aku duduk dan menyandarkan punggung pada dinding kayu, agak dekat dengan posisi kapten Anang yang meringkuk.
"Rupanya kau tangguh juga Hamid. Lebih tangguh dari ayahmu."
Masih berdiri, bidikan pistol mang Atak tak pernah lepas menyasar badanku.
Aku mendongak, memperhatikan lubang ujung pistol yang kini tepat menyasar di tengah dahiku.
Darahku terasa mendidih dan amarahku membara. Ingin rasanya kuraih pistol itu, tapi luka di perut membuatku tidak berkutik.
Aku memaki dalam hati atas ketidak berdayaanku. Suasana ruangan tiba-tiba terasa pengap dan sesak. Entah karena takut akan kematian atau pondok ini terlalu sempit, aku sungguh-sungguh merasa lemah.
Di samping, kapten Anang terus berontak dengan tangan dan kaki terikat. Mulutnya yang tersumpal terus mengeluarkan suara, sepertinya makian dan sumpah serapah tertahan.
"Sebaiknya kau tetap diam di situ, Hamid. Aku tak ingin menghabisi nyawamu."
Mang Atak mundur beberapa langkah, lalu merogoh sesuatu dari dalam tas punggungnya. Sebotol air mineral yang sisa separo ia keluarkan, lalu dilempar ke arahku.
Buuk...
Botol itu terjatuh lalu menggelinding tepat di kakiku.
"Minumlah !" lanjut mang Atak datar.
Cuiih..!
Aku meludah ke botol yang ia berikan. Rasanya tak sudi aku menerima pemberian dari orang yang telah mencelakakan kami. Bagaimanapun juga, nasib buruk yang kami alami adalah karena ulah liciknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
HorrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB