Bab 22 : Amarah

1.9K 230 34
                                    


Kakiku tiba-tiba lemas hingga tidak sanggup lagi menopang tubuhku yang bermandi peluh.

Duduk tersungkur di lantai, aku menggenggam pistol itu gemetaran. Sungguh, sulit kupercaya atas apa yang telah kulakukan. Hatiku tercabik-cabik karena penyesalan yang mendalam.

"Sudahlah, Hamid. Kau memang bukan pembunuh."

Mang Atak menepuk pundakku lalu meraih pistol dari genggamanku.

Tepat di depan, kapten Anang melotot hingga matanya hampir keluar. Urat-urat lehernya menonjol dan tarikan nafasnya terdengar kencang. Rupanya ia masih tidak percaya bahwa nyawanya masih kuampuni.

Peluru yang seharusnya bersarang di kepala kapten, justru kuarahkan beberapa jengkal ke samping. Peluru itu melubangi lantai, melesat ke dalam tanah di kolong pondok.

Selama beberapa detik, Kapten tercekat dan terdiam. Ia bahkan terkencing-kencing karena ketakutan.

"Sebaiknya kau ikut aku. Ada dusun di hilir sungai. Kalau bergegas, kita bisa tiba sebelum gelap. Berharap saja Tambun tidak mengejar. Tempat itu sudah terlalu jauh dari sarangnya."

Aku mengangguk setuju dengan ajakan mang Atak. Setelah menyeka air mata, aku bangkit berdiri.

"Biarkan aku yang menyelesaikan."

Mang Atak mengarahkan pistol ke tubuh kapten, tepat menyasar jantung. Terdengar suara kokangan dan jarinya siap menarik pelatuk.

"Sudahlah mang. Biarkan dia di sini. Sudah cukup nyawa terbuang. Sebaiknya kita pikirkan caranya agar bisa selamat dari hutan ini."

Kuturunkan perlahan tangan mang Atak yang terasa dingin. Jujur, aku merasa ngeri melihat wajahnya. Dingin dan beringas. Membunuh, sepertinya bukan hal baru baginya.

"Kita seret saja tubuhnya keluar, jadikan ia umpan. Tambun tidak suka memakan bangkai. Dengan begitu, kita punya waktu untuk melarikan diri."

Meski berat hati, aku setuju dengan usul mang Atak. Aku harus tega mengorbankan orang lain agar bisa pulang dengan selamat, termasuk mang Atak.

Kapten berontak saat tubuh ringkihnya kami seret keluar pondok. Mulutnya terpaksa harus kembali disumpal sebab terus memaki dan menjerit.

Mang Atak beberapa kali memukul lantaran kapten terus melawan. Begitu di depan pintu, kapten Anang kami lempar begitu saja ke tanah.

Buuk...

Tubuh kapten mendarat sempurna di atas rerumputan. Suara jerit tertahan kembali keluar dari mulutnya yang berbekap kain.

Membayangkan perlakuannya pada abah, terbersit rasa puas melihat keadaan kapten saat ini. Meski aku tidak sanggup membunuhnya, melihatnya tersiksa menimbulkan rasa kepuasan tersendiri.

Aku dan mang Atak kemudian meniti tangga, lalu mendekati kapten Anang yang tidak berdaya. Apapun yang dilakukan mang Atak, untuk sementara aku mengikuti segala rencananya.

Bagaimana pun juga, mang Atak tak kalah liciknya. Aku harus waspada dengan gerak-geriknya, atau bisa-bisa aku yang dijadikan umpan berikutnya.

*****

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di belakang. Seorang pria dari arah semak langsung menerjang dengan sebuah kayu di tangan.

Buuukk...buukkk...

Tanpa sempat menghindar, hantaman di kepala membuatku dan mang Atak terpelanting di tanah. Seketika pandanganku kabur dan berkunang-kunang.

Belum sadar apa yang terjadi, sebuah tendangan mendarat di daguku. Aku kembali terkapar tidak berdaya dengan mulut berdarah. Gusi terasa ngilu dan perih, dua gigi depan bergoyang dan siap terlepas akibat hantaman tadi.

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang