Tanpa khawatir, mang Soleh melangkah gontai ke arah gapura. Tombak menyilang ia copot, ia ambil sebuah sebagai senjata lalu berjalan di bawah bentangan Hinting Pali menuju ke dalam kampung.
Aku dan Dayat hanya bisa saling pandang, sedangkan kapten Anang bergegas mengambil tombak yang tersisa dan menyusul mang Soleh.
Tidak ada pilihan, aku dan Dayat segera menyusul mereka berdua. Kami mempercepat langkah agar tidak jauh tertinggal, apalagi hari semakin gelap.
*****
Pemandangan yang kami lihat di dalam kampung sungguh menciutkan nyali. Rumah-rumah penduduk terlihat porak poranda dan puing-puing berserakan di jalan yang berupa tanah merah.
Tulang-tulang dan tengkorak manusia bergelimpangan di mana-mana. Juga ada beberapa mayat yang masih utuh namun sisa tulang terbungkus pakaian.
Entah apa yang terjadi, sepertinya ada hal mengerikan yang menimpa kampung terpencil di tengah belantara ini. Beberapa yang selamat sepertinya berhasil melarikan diri.
Sejenak aku ragu, apakah memasuki kampung ini keputusan yang tepat. Mang Soleh dan kapten Anang yang memegang tombak bersikap waspada. Aku dan Dayat mengiringi di belakang dengan rasa cemas. Kayu telah kami pegang untuk berjaga-jaga. Entah kenapa, bulu kudukku kembali merinding. Sedari tadi aku merasa ada yang mengawasi kami entah dimana.
Sejauh mata memandang, daun-daun kering berserakan di sepanjang jalan.
Patung sapundu, patung berwujud manusia yang biasanya ada di depan rumah warga, bergeletakan di jalan.Di kiri dan kanan, banyak rumah yang telah ambruk dan rata dengan tanah. Sebagian lagi tampak kosong tanpa penghuni, ditutupi tanaman merambat.
Apa yang kami lihat seperti kampung yang ada di film horor. Sepi, sunyi, dan berantakan.
"Kenapa kampung ini ?" tanya Dayat khawatir.
Tidak satu pun yang menjawab, Hinting Pali yang ada di gapura sepertinya pertanda yang cukup jelas.
Kami terus melangkah hati-hati agar tidak menginjak paku atau benda tajam lainnya.
Langkah kami terhenti ketika melewati sebuah tanah yang cukup lapang. Di tengahnya, berdiri tegak patung Sapundu yang biasa digunakan untuk mengikat hewan kurban saat ritual kematian.
Namun, bentuk ukirannya tidak lazim. Biasanya sapundu berwujud manusia, tapi yang di hadapan kami berwujud hewan melata. Melilit kayu ulin dengan barisan gigi dan taring tajam serta sisik yang menonjol, sapundu di depan kami berwujud ular naga raksasa yang sedang memangsa manusia.
"Tambun..." desis mang Soleh.
Kami semua tercekat. Saling pandang tanpa bersuara, seketika kami merasa ngeri. Hinting Pali yang ada gerbang, adalah peringatan agar tidak seorang pun memasuki kampung ini. Bila dilanggar, maka orang itu akan mati bersimbah darah.
*****
Waktu terus berlalu dan langit semakin gelap. Kelaparan dan kelelahan, kami terpaksa menginap di kampung tanpa penghuni malam ini.
Setelah memeriksa beberapa rumah kosong, akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang paling cocok untuk menginap.
Sebuah rumah yang paling kokoh, berbentuk panggung dan berbahan kayu. Peralatan dapurnya cukup lengkap, walau tidak ada kompor dan hanya menggunakan tungku. Ada sisa minyak tanah, juga pisau yang bisa dijadikan senjata. Jelas sekali kalau rumah ini ditinggalkan dalam keadaan buru-buru.
Hal pertama yang kami cari adalah sisa-sisa bahan makanan, entah beras atau ikan asin. Namun usaha kami sia-sia. Tidak ada satu pun yang bisa di makan. Begitu juga rumah yang kami periksa sebelumnya. Hanya ada beberapa bumbu dapur seperti garam dan gula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
TerrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB