Hutan di pinggiran sungai Busang menjadi gaduh. Semua bergidik ngeri tak karuan.
"Ada apa !?"
Keluar dari dalam pondok, masih mengantuk, kapten terlihat kesal.
"Ada hantu kapten. Hantu pujut !" seru mang Muksin.
"Bukan, hantu sandah !" timpal mang Mursyid.
"Akh...! Kalau ada hantu, biar kusate !" seru kapten kesal.
"Dimana Soleh ?" tanya kapten lagi.
Kami semua terdiam, saling lirik. Astaga ! Mang Soleh tak ada. Kami baru tersadar kalau mang Soleh tertinggal di belakang.
Dengan penuh rasa cemas, kami semua menoleh ke arah pantai. Diterpa cahaya api unggun, terlihat mang Soleh tengah berdiri memandang ke seberang sungai. Tak bergerak, hanya mematung.
"Kesurupan kah?"
"Iya ! Kesurupan !"
"Waduhh ! Angel iki, wes angel ki !"
Suasana di sekitar pondok kembali riuh. Bagaimana mungkin mang Soleh, orang paling shaleh diantara kami, bisa kesurupan !?
"Ayo !!!" seru kapten.
Tanpa rasa takut, kapten Anang melangkah menuju mang Soleh.
Bergerombol, kami mengikuti langkah kapten di belakang. Mas Sugang dan Lai saling berbisik, saling dorong ke depan. Dua orang itu rupanya sama-sama takut.
Hanya beberapa meter dari posisi mang Soleh, langkah kami tiba-tiba terhenti. Kapten Anang terlihat ragu untuk mendekat.
"Ada apa kapten ?" tanyaku penasaran.
"Lihat, tangan si Soleh." jawab kapten setengah berbisik.
Deg !
Jantungku kembali berdegub kencang. Membelakangi kami, menatap sungai, tangan kanan mang Soleh menghunus sebilah Mandau yang sangat tajam.
Darahku berdesir, bulu kudukku merinding. Berkelahi, aku sudah biasa. Babak belur, aku sudah sering. Tapi menghadapi manusia dengan senjata tajam, aku merasa ngeri. Apalagi orang itu sedang kesurupan jin hutan, alamat celaka !
Kami mulai grasak grusuk, mencari kayu dan batu. Bisa saja, mang Soleh mengamuk dan membantai kami tanpa ampun.
"Diam !" seru mang Soleh.
"Hiiii....!!!"
Kami semua terperanjat kaget.
...tap...tap...
Tenang, kapten Anang melangkah pelan mendekati mang Soleh.
"Ada apa ?" tanya kapten penuh wibawa.
"Lihat, di seberang !" jawab mang Soleh datar.
Serentak kami semua melihat ke seberang sungai. Batu dan kayu tak jadi kami pungut. Di seberang sungai, di kejauhan, di bukit bekas ladang, ada lima cahaya yang bergerak. Menelusup di antara celah pepohonan, cahaya itu bergerak mendekat.
"Kuamati dari tadi, cahaya itu sepertinya menuju kemari." ujar mang Soleh. Kulirik, tangannya gemetar memegang Mandau.
"A-apa itu ? Kuyang kah ?" tanya mas Sugang cemas.
Hening. Semua menahan nafas. Cahaya itu sepertinya terpancing api unggun di dekat pondok kami.
"Itu cahaya senter." ujar kapten, masih tetap tenang.
"Cahaya senter ? Itu artinya manusia." kataku pelan, berusaha tidak gugup.
"Manusia dengan maksud baik, atau dengan niat jahat." ucap kapten lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
TerrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB