Doorr...!!!
Suara letusan terdengar memekakkan telinga, membuat telingaku sakit dan pandangan terlihat berputar-putar.
Tepat sebelum jari mang Soleh menarik pelatuk, mang Atak menerjang membuat peluru melesat beberapa senti di samping telinga. Keduanya lantas bergumul di tanah, mencoba saling melumpuhkan.
Tanpa pikir panjang, aku berlari kencang ke arah hutan menyelamatkan diri. Seribu langkah kupacu menembus belukar berduri.
Door...door...
Kembali terdengar suara letusan di belakang. Entah apa yang terjadi, yang ada dipikiranku hanyalah menyelamatkan diri.
Sambil terus berlari, kupukul-pukul kuping kanan untuk mengurangi dengung yang tak berhenti.
Di kejauhan, terdengar sayup-sayup suara rintihan mang Atak mengantar nyawa lalu menghilang ditelan riuhnya hutan.
"Kejaaarr !!!" Jangan sampai lolos !!!"
Teriakan Kapten menggema, diiringi suara-suara langkah kaki yang bergerak cepat menerobos tumbuhan pakis dan ilalang.
Sialan, rupanya mereka memburuku. Dengan kondisi penuh luka, tak mungkin aku bisa berlari jauh. Aku harus mencari tempat bersembunyi agar bisa selamat. Bagai kijang terluka, kesana kemari aku mencari tempat aman untuk menghindari perburuan Kapten Anang dan mang Soleh.
Di langit, senja kuning sudah terlihat. Aku harus bisa bertahan setidaknya hingga langit berubah jadi gelap.
Beberapa meter di depan, tanah terlihat miring menurun. Kupercepat langkah kaki karena di belakang suara Kapten dan mang Soleh semakin dekat.
"Tidak mungkin ia pergi jauh. Pasti di sekitar sini." seru mang Soleh di antara rimbun pepohonan.
Aku terpaku.
Tepat dua langkah di depan, tanah miring ternyata lebih curam dari yang kukira. Beberapa meter di bawah, terhampar barisan batu tajam, seperti aliran sungai yang telah kering.
Tidak jauh dari hamparan batu, terdapat sebuah lubang menganga yang sangat besar. Sebuah goa dengan mulut yang lebih besar dari rumah. Mungkin di situ bisa jadi tempat sembunyi meski gelap dan terlihat tidak aman. Bisa saja goa itu sarang binatang buas.
Di belakang, derap langkah kaki dan ranting patah semakin jelas terdengar.
Aku menimbang-nimbang, apakah melompat atau berlari ke tempat lain. Kurasakan detak jantung semakin tidak karuan, ketika suara gaduh kapten dan mang Atak semakin dekat.
Bruukk...
Tubuhku meluncur di tanah miring bagai anak kecil main pelosotan.
"Di sana !" teriak mang Soleh lantang.
Braakk...
Tersangkut kayu, aku terjungkal ke depan. Tubuhku menggelinding, berputar-putar tanpa henti di atas rerumputan dan belukar berduri.
Braak...
Tubuhku membentur sebuah batu yang cukup besar dan luncuran tubuhku terhenti seketika. Menjerit tertahan, kurasakan sakit luar biasa di bagian pinggang. Luka di perut kembali menganga, mengucurkan darah kental kehitaman.
Di atas, samar-samar terlihat bayang-bayang tubuh kapten Anang dan mang Soleh berdiri di tepian tanah miring.
Mereka terlihat berdebat, tapi jelas sekali kalau mang Soleh bersikeras menyusulku kebawah.
Dalam satu tarikan nafas, mang Soleh melompat. Tubuhnya mendarat sempurna di atas rerumputan, meluncur deras menerobos semak belukar lalu disusul kapten Anang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
TerrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB