Mahluk melata itu menggeliat, bergerak-gerak dengan suara desis yang menjadi-jadi.
Monyet-monyet di atas pohon menjadi ribut, berteriak-teriak saling memberi pertanda bahaya. Dahan-dahan bergoyang-goyang karena sekumpulan monyet itu melompat ke sana kemari dalam keadaan panik.
Burung-burung segera berhamburan dan seisi hutan menjadi riuh karena ketakutan.
Tubuhku tersungkur tak berdaya di atas tanah, menahan sakit yang begitu menghujam di bagian perut dekat pinggang.
Aku merasa ngeri, saat kulihat perut ular itu bergerak-gerak membentuk tonjolan. Jelas sekali terlihat, perut hitam legam dengan sisik sebesar piring, membentuk tonjolan seperti lekuk tubuh manusia.
Ular itu sedang mencerna mangsa !
Kesempatan, batinku. Biasanya ular akan sulit bergerak bila ada mangsa di perutnya.
Tertatih, aku merayap menjauh dengan bertumpu pada kedua sikut. Tak kupedulikan perih di perut, aku merayap bagai kesetanan.
Pergerakanku seketika terhenti, saat sesuatu yang sangat berat tiba-tiba menindih punggung. Dada terasa sesak dan lukaku kembali mengeluarkan darah.
Hanya hitungan detik, tubuhku sudah terguling dalam belitan yang meremukan tulang. Mataku terbelalak dan hampir keluar, ketika belitan demi belitan semakin kuat mencengkeram.
Lidahku terjulur keluar dengan mulut terganga.Celaka ! Ular besar itu hendak manjadikanku santapan !
Dengan lidah terjulur dan liur menetes, termegap-megap mulutku mencari udara. Keringat dingin mulai menetes di kening, tubuhku semakin lemas tak berdaya. Nafas semakin sesak dan belitan semakin kencang.
Lilitan itu mengangkat tubuhku ke udara, dibawa mendekat ke arah kepalanya yang jauh di depan.
Seesshh...sesshh...
Suara desisan terdengar kencang. Monyet-monyet terus berteriak ketakutan.
Sreekkk....
Dari belukar, kepala ular sebesar pinggang menyeruak. Dengan sisik-sisik menonjol, wajah ular itu terlihat bengis, liar dan lapar.
Lidahnya yang bercabang menjulur-julur keluar, menimbulkan bunyi desis yang menciutkan nyali. Sepasang mata sebesar bola kaki menatapku tajam. Di celah mulutnya, terlihat barisan gigi tajam dengan taring yang menekuk.Jantungku rasanya copot dan imanku runtuh. Aku tidak tahu harus berpikir bagaimana lagi untuk meyakinkan diri, bahwa harapanku untuk hidup masih ada.
Kini jarakku dengan kepala ular itu hanya sejengkal. Mahluk itu mengamati tubuhku senti demi senti. Lidahnya terus menjulur-julur di samping wajahku, menyentuh kuping sebelah kiri. Aku bergidik ngeri dengan posisi tubuh terkunci.
Seesshhh.....sessshh...
Suara desisan terus bergema di dalam telingaku, masuk melalui aliran darah dan melemahkan jantung. Tiba-tiba aku merasa hening. Tidak ada apa pun yang bisa kudengar kecuali denging. Mungkinkah seperti ini rasanya sakratul maut ?
Tak mampu kutahan air mata. Lagi-lagi aku menangis karena putus asa.
Bruuukkk....
Tubuhku tersungkur di tanah menahan sakit. Lilitan itu terlepas begitu saja. Seakan tak percaya, tubuhku benar-benar bebas.
Ular naga itu bergerak entah kemana, meratakan belukar dan melindas rerumputan. Perut besarnya masih bergerak-gerak dengan tonjolan seperti manusia.
Entah kenapa mahluk itu melepasku. Entah kasihan atau sudah kenyang, aku tidak perduli.
Dengan tertatih aku bangkit berdiri, berpegang pada akar-akar gantung dan batang-batang pohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)
HorrorSekelompok penambang emas liar di pedalaman Kalimantan harus bertahan hidup dari serangan mahluk misterius. Update setiap Kamis dan Minggu pukul 19.00 WIB