Bab 24 : Petaka Tambang Emas Berdarah

2.8K 322 92
                                    

Mang Soleh memutar badan, menyoroti sudut-sudut goa dengan senter yang mulai redup. Ia tampak gelisah dan keringat sebesar jagung menetes di dahinya.

Seeshhh...seesshh...

Suara desisan menggema di setiap sudut goa. Kami bertiga terdiam, tidak berani mengeluarkan suara. Kami tahu persis monster sungai itu ada di sekitar kami tapi entah dimana.

Ular raksasa itu sepertinya sengaja mengintimidasi kami dari dalam gelap, membuat nyali ciut sebelum akhirnya menyeret kami satu-persatu.

Mang Soleh mundur perlahan ke arah mulut goa diikuti kapten yang cemas. Pistol yang ia genggam terus mengikuti bulatan cahaya senter yang menyorot celah demi celah dinding goa yang lembab.

Kapten Anang juga tidak tinggal diam. Tiga granat ia genggam, entah bisa ia gunakan atau tidak.

Tidak mau mati konyol,tertatih aku bergerak pelan, keluar dari celah tempatku meringkuk kedinginan.

Berpegang pada dinding goa yang licin, aku berhasil berpijak pada dua kaki. Belum sempat bergerak mang Soleh sudah menodongkan pistol ke arahku.

"Ikuti kata-kataku, Hamid. Atau kau yang lebih dahulu mati," gertak mang Soleh dengan nada mengancam.

Dengan terpaksa aku mengikuti perintahnya. Melangkah tertatih, aku bergerak di bawah ancaman pistol yang siap menyalak kapan saja. Aku berdiri tepat di depan mereka berdua, menatap kosong ke sudut gelap di ujung lorong yang tak terlihat.

Celaka ! Rupanya aku hendak dijadikan umpan. Di kegelapan, suara desis semakin menjadi-jadi. Kadang terdengar kencang, kadang lirih. Suara desisan terus menggema di lorong tanpa cahaya dan berpindah-pindah. Kadang suara itu terdengar di samping, kadang di belakang.

Gugup dan panik, mang Soleh dan kapten mundur perlahan menuju mulut goa serta memaksaku ikut melangkah tanpa menoleh sedikitpun.

Door...!

Pistol di tangan mang Soleh meletus ketika kelebatan hitam muncul dari dalam aliran air. Apa yang dilakukan mang Soleh ternyata membuat keadaan tambah buruk.

Air tiba-tiba bergemuruh, menimbulkan suara menggelegar seolah goa ini akan runtuh.

Bruuk...

Tendangan mang Soleh di punggung membuatku terjungkal kedepan. Tanpa aba-aba mereka berdua sontak berlari, meninggalkanku yang berkubang dalam air.

Meski gelap, jelas sekali gelombang air menerpa tubuhku. Kelebatan mahluk raksasa lewat persis di samping.

Cahaya senter bergerak cepat menuju mulut goa diiringi suara langkah terburu-buru.

Senter tiba-tiba terlempar dan membentur dinding goa lalu terjatuh di salah satu sudut lorong yang dingin. Terdengar suara benturan cukup keras di dinding goa, lalu pekik kematian yang mengerikan kembali menggema.

Entah siapa yang jadi korban, lututku terasa lemas dan badanku gemetar. Perlu beberapa saat bagiku menyadari bahwa aku belum mati.

Di salah satu sudut, senter terus berputar menyorot cipratan darah di dinding lalu perlahan tergeletak dengan cahaya redup.

Beberapa saat berlalu, goa kembali hening dan sunyi hanya terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari stalaktit. Dengan sisa tenaga aku bangkir berdiri, berjalan terseok di aliran air hingga kakiku berhasil menapak di lumpur kering.

Beberapa kali aku terjerembab karena tidak melihat tempat berpijak, sedangkan cahaya senter menyorot ke arah lain sisi goa.

Perlu waktu cukup lama bagiku hingga akhirnya berhasil meraih senter itu. Sambil memegang perut yang luka, aku bergerak pelan menuju mulut goa yang hanya beberapa langkah di depan mata.

Petaka Tambang Emas Berdarah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang