LIMA BELAS

3.8K 224 4
                                    

Selesaikan dulu kisah lamamu. Baru mulai kisah yang baru. Bagaimanapun kisah harus ditutup dengan baik.

OoO

Beberapa anggota pasukan Erudite yang dominan anak IPA mulai memasuki area kantin. Tatapan memuja selalu menjadi sambutan saat mereka memasuki pintu kantin lalu duduk di pojok kanan. Tempat kekuasaan mereka.

Bukan hanya sang leader saja yang dipuji anggotanya pun selalu mendapat pujian. Anggota pasukan Erudite memang bibit unggul untuk memperbaiki keturunan.

Bukan bermodalan fisik saja, anggota pasukan Erudite juga berotak cerdas. Ditambah mereka ramah dan baik pada semua orang. Jarang membuat masalah untuk sekolah tapi prestasi yang mereka cetak.

Keempat inti Erudite langsung duduk di salah satu kursi yang dicap sebagai milik mereka.

Morgan mengeluarkan ponselnya. Membuka sebuah direct massage dari orang yang tidak diinginkannya, Zila.

Pesan yang masuk kemarin siang. Bibirnya menyungging dan menekan tombol home lalu memasukkan lagi ponselnya. Zila pikir siapa dirinya, yang harus dibalas pesannya oleh Morgan.

"Woi, Bos, lo mau pesan apa? Ditanya juga dari tadi," ucap Samar.

"Kapan lo nanyanya, sendok plastik!" desis Bagus.

"Barusan, nih satu detik yang lalu."

"Eh, talenan, bisa nggak lo jangan ngelawak, gagal mulu."

"Eh, kerak telor, lo tuh kenapa dah manggil gue barang perabotan mulu? Heran gue, apa lo cita-cita jadi pedagang perabot? Istigfar Bagus, bapak lo seorang seniman, ya kali anaknya jualan perabot."

"Enak banget lo kalau ngomong asal mangap, Bapak gue pemusik bukan seniman ogeb."

"Sama aja, satu angkatan."

"Berisik lo pada!"

Sebelum Bagus menimpali ocehan Samar, maka lebih dulu Sakti menyela perdebatan mereka.

Sedangkan Morgan menatap teman-temannya kesal.

"Pesan, Mar. Gue traktir," ucap Morgan datar.

"Serius?" Samar terlihat antusias.

"Hm."

Samar langsung berdiri meninggalkan Sakti dan Bagus yang terkekeh melihat tingkah Samar yang kegirangan saat pergi menuju stand Mang Asep.

Sungguh, emosinya Samar akan mereda jika Morgan menatakan kalimat sakral yang paling ditunggu oleh keempat sahabatnya.

Mereka memang keturunan orang punya. Tapi jika sudah berurusan dengan gratis tanpa berbayar sedikit pun, maka dompet dengan kumpulan kartu berduit tidak jadi keluar dan mereka diamkan.

Lumayan, kapan lagi makan gratis jika bukan seorang Morgan yang mentraktir.

"Ck, dasar Samar, masalah makan nomor satu, nggak mikir badan udah lebar," cibir bagus.

"Lo juga, Doyok," decak Sakti.

"Ngaca kalo ngomong, Kadir."

Mereka berdua terkekeh pelan. Sedangkan Morgan diam, hari ini dia sedang malas untuk menimpali obrolan para sahabatnya.

Tiba-tiba suara dengungan speaker mendengung. Memekak telinga. Tapi itu hanya sebentar, karena setelahnya suara nan indah terdengar. Menyanyikan sebuah lagu yang tidak asing di telinganya.

Morgan hanya terdiam sambil menikmati setiap lirik lagu yang sangat menyesakkan hati. Morgan begitu merasakan jika lagu itu seperti dipersembahkan untuknya.

MOZILA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang