DUA PULUH DELAPAN

3.9K 209 6
                                    

Nggak ada yang kehilangan. Naim, ada saatnya kita harus berkorban demi orang yang kita sayangi.

OoO

Semalaman Morgan tidak bisa tidur. Pikirannya selalu dipenuhi tentang Zila dan beberapa masalah akhir-akhir ini yang menimpa dirinya. Ingin sekali rasanya Morgan melampiaskan dengan alkohol, tapi dia harus menjaga kesehatannya.

Sebenarnya Morgan masih tidak menyangka hubungan Zila dan Bagus di masa lalu. Keduanya begitu rapih berinteraksi seakan tidak terjadi sesuatu di masa lalu. Gadis itu pandai dalam menyembunyikan masalah, tidak seperti dirinya yang menunjukkan ketidaksukaan secara terang-terangan.

Lalu, ada Sakti dan Fida. Rasanya lucu melihat sahabatnya itu pernah pacaran dengan ketua OSIS yang menentang Morgan secara terang-terangan. Keduanya juga rapih dalam memainkan posisi. Morgan sampai tidak tahu karena sibuk mengejar Nava, membuatnya lupa akan kehidupan sahabatnya.

Apa karena dia kurang peka. Sehingga saat Sakti dan Bagus ada masalah dia selalu tidak tahu.

Dan setelah ini akan ada apa lagi yang harus dia tidak tahu. Semuanya terasa abu-abu untuk Morgan yang banyak mengalami masalah.

Tapi satu pencapaiannya yang luar biasa. Dirinya berhasil berdamai dengan Zila. Meskipun gengsi tapi dia mengapresiasi rasa egoisnya yang mau diajak kerja sama.

Tidak ada tujuan sama sekali dalam dirinya untuk berbaikan dengan Zila, dia ingin menghapus rasa bersalah dan wajah Zila untuk tidak menghantui pikirannya lagi. Dan cara yang manjur untuk menghilangkan kegelisahan serta rasa bersalah hanya dengan meminta maaf.

Meskipun, Morgan tahu jika Zila masih mencintainya, tapi dia akan berusaha untuk membuat Zila berhenti mencintai dirinya dan menyadarkan jika lelaki berengsek ini tidak usah diberi cinta. Karena cinta Zila tulus pada Morgan, dan dia tidak ingin jika cinta yang dibangun oleh Zila dengan susah payah, akan diruntuhkan oleh kenyataan jika Morgan tidak mencintainya.

Di hati Morgan mungkin membenci Nava, tapi dalam dasar hati, Morgan masih ada cinta untuk Nava. Dan untuk Zila, tidak ada. Di dalam hatinya Zila memiliki posisi sebagai rasa bersalahnya, Morgan yakin itu.

Jadi, bukannya lebih baik dia dan Zila berteman saja dari pada memaksakan hubungan yang jelas Zila akan dirugikan. Baik secara batin maupun fisik.

"Mor, ngelamun aja lo." Samar menepuk bahu dirinya. Morgan pun menoleh.

"Eh, lo, Mar? Gue kira siapa."

Samar terlihat bingung. Dia lalu ikut duduk di kursi yang Morgan duduki. Kini keduanya sedang ada di bawah pohon, duduk santai menikmati beberapa anak kelas sebelah yang berolahraga.

"Ngelamunin apa lo? Sakti atau Bagus?" tanya Samar.

"Enggak, gue hanya mikirin masalah yang menimpa gue, apakah masih ada rahasia yang sahabat gue sembunyikan?" Morgan melirik sahabatnya itu. Terlihat Samar tersenyum tipis.

"Gue nggak ada rahasia, Mor. Hidup gue terlalu hambar. Berbeda sama kalian yang penuh rasa."

Samar menepuk bahu Morgan berkali-kali dengan pelan.

"Bukan lo aja yang kecewa kok, gue juga. Selama ini kita hidup dalam drama percintaan orang lain."

"Lo benar. Mereka berdrama dengan baik. Gue aja sebagai penonton tertipu."

Morgan terkekeh, begitu juga Samar.

"Btw, lo kemarin pulang sama Zila aman? Nggak melipir ke hotel kan? Hujan deras mendukung loh untuk memberikan gue keponakan."

Mata Morgan mendelik kesal. Ditoyornya kepala Samar. Bukannya berhenti tertawa, tapi Samar malah semakin tertawa kencang.

"Ngaco lo! Mana mungkin gue kayak gitu. Gue bukan lo!"

MOZILA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang