TIGA PULUH

3.9K 197 11
                                    

Kamu adalah cinta yang tidak aku sadari.

OoO

"Hai."

Mereka berlima menoleh pada sumber suara. Di depan pintu terdapat Zila yang sangat cantik malam ini. Dress putih bercorak ungu dengan lengan panjang dan membuatnya terlihat manis. Apalagi dipadukan jaket denim army.

Tidak lupakan, jepit pita hijau melekat sempurna di rambut hitam Zila yang terurai. Kaki jenjangnya dibalut sepatu kets putih. Zila juga membawa tas selempang putih di bahu kirinya.

Zila terlihat berjalan ragu menghampiri mereka dengan senyuman yang masih setia di bibirnya.

Morgan terus memandangi Zila yang sangat cantik. Bahkan manis sekali. Mata almond itu mampu membuat Morgan terpana.

"Sadar kali," bisik Shaima.

Mata Morgan mengerjap dan menatap Zila.

"Ayah, Bunda, Zila mau izin keluar dulu ya, enggak lama kok."

"Iya. Jangan nakal ya, jaga attitude, Morgan udah izin juga," pesan Salamah.

Lalu Salamah menatap Morgan.

"Hati-hati juga bawa mobilnya."

"Iya Tante."

"Jaga anak saya. Ingat janji kamu, sedikit melanggar kamu akan terima akibatnya."

"Baik Om, kami pamit dulu."

Morgan menyalami tangan Salman dan Salamah, lalu tersenyum pada Shaima.

"Assalamu'alaikum," salam mereka berdua.

"Wa'alaikumsallam."

Zila mencium pipi Shaima dan Ali. Melihat adiknya bahagia, Ali hanya bisa tersenyum tipis.

Ali lalu menghampiri Morgan dan berbisik.

"Jaga Adik gue."

"Tenang aja."

Matanya melirik Zila yang masih dinasehati kedua orang tuanya.

"Ayo, Zil."

Zila menoleh pada Morgan dan mengangguk. Sebelum pergi gadis itu mencium pipi kedua orang tuanya.

"Bye."

Zila melangkah menunju pintu mobil yang sudah dibukakan Morgan.

"Pencitraan," cibir Ali.

Shaima tersenyum mengeplak lengan sang adik.

"Positif thinking aja."

Setelah Zila duduk dengan nyaman barulah Morgan masuk ke kursi mengemudi. Setelah mengklakson pamit pergi, mobil putih mengkilap itu melesat, meninggalkan pekarangan rumah Zila.

OoO

Mobil sudah melaju jauh meninggalkan area perumahan Zila. Sedari tadi pun mereka berdua hanya diam.

"Kita mau ke mana?" tanya Zila.

Akhirnya setelah memilih diam, dia bisa bertanya juga. Jujur, Zila takut, karena terakhir dirinya bicara Morgan berubah raut wajahnya.

Belum lagi mereka sama-sama saling menghindar. Baik kontak fisik maupun batin.

"Cafe dekat sini, mungkin."

"Cafe? Nggak mau." Zila mencebikkan bibirnya.

Morgan menaikkan alisnya bingung.

"Tapi gue udah bilang ke ayah lo, kalo kita mau ke cafe dekat sini."

MOZILA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang