TIGA PULUH TIGA

3.6K 182 7
                                    

Lalu untuk apa kata maaf jika kesalahan yang sama terulang lagi?

OoO

Mata Zila sedari tadi tidak lepas dari orang yang sedang sibuk dengan beberapa buku bertema musik yang ada di depannya. Dia adalah Renzi, senior yang akhir-akhir mulai mendekati Zila. Bukan kepedean, tapi tingkah lelaki itu yang menunjukkan.

Jangan kira Zila tidak mengerti bahasa tubuh lelaki jika mendekati perempuan, karena dia cukup hapal.

Renzi terlihat sibuk melihat beberapa kunci lagu dan teknik permainan gitar yang terdiri dari beberapa instrumen indah.

"Pokoknya penampilan kita harus bagus, Zil. Apalagi gue yang mau lulus. Saat penampilan nanti gue mau buktikan kalo badboy ini bisa membuat mereka terkagum-kagum."

Renzi mengambil buku dari rak ujung dengan gambar gitar lalu menyerahkan pada Zila.

Setelah dari kantin tadi, Renzi bersikeras untuk mengajak Zila ke perpustakaan.

"Kak, pementasan seni diadakan habis mid semester, sedangkan itu masih dua minggu lagi. Masih ada waktu kok buat latihan."

Renzi mengambil duduk di seberang meja Zila.

"Minggu ini juga sama aja, tahun lalu pementasan seni gue sama teman-teman, tapi sekarang beda. Makanya gue mau belajar lagi biar bagus. Bantu gue, ya?" pinta Renzi dengan memohon.

Zila menumpuk lagi beberapa buku yang Renzi ambil dan diletakkan dengan asal. Dasar seniornya ini, apa tidak kasihan melihat penjaga perpustakaan yang selalu sibuk membersihkan dan menata buku di rak sesuai nama dan kategori.

Bayangkan, betapa sulitnya penjaga perpustakaan saat naik ke bangku mini untuk mengambil serta menata ulang buku di lemari atas.

Tapi dengan seenaknya para murid menyepelekan pekerjaan itu.

"Gue akan bantu lo, Kak. Tapi, gue nggak janji buat menyelesaikan penampilan gue."

Renzi mengernyit bingung. "Kenapa?"

Zila mengedikkan bahunya.

"Gue merasa kalo gue nggak akan menyelesaikan penampilan dengan bagus. Lo juga tahu kalo gue demam panggung."

Wajah Renzi terlihat kesal.

"Gue kira kenapa. Tenang aja, pulang sekolah kita latihan, di mana aja terserah lo."

"Kolong jembatan mau?"

"Nggak di sana juga, Zil."

Zila terkekeh pelan melihat Renzi menggerutu seorang. Entah apa yang dia kesalkan, mungkin saja ucapannya tadi.

Meskipun Zila terkekeh, tapi entah mengapa perasaannya cukup cemas, bahkan degup jantungnya berdetak cepat. Bukan karena Renzi, tapi karena sesuatu yang sedari pagi mengusik ketenangannya.

Apalagi melihat hujan yang jatuh ke bumi dengan deras, seakan menandakan ada sesuatu yang akan terjadi, memperkuat kecemasan Zila.

Jujur saja, setelah pulang dari rooftop waktu itu, Zila merasakan sesuatu yang mengusiknya.

Zila sangat takut, perasaan cemas itu berubah jadi nyata . Dia takut jika yang dicemaskan akan terjadi melampaui dugaannya.

"Zila!" panggil Renzi dengan kesal.

Karena tersentak, Zila sampai menjatuhkan beberapa buku yang sudah ditumpuk olehnya.

"Eh, sorry, Kak. Kenapa?"

Zila segera memunguti buku-buku itu dan menumpuknya kembali di atas meja.

"Lo kenapa?" Renzi ikut membantu.

MOZILA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang