DUA PULUH DUA

4K 198 15
                                    

Jangan terlalu membencinya, nanti kamu akan jatuh cinta lebih dalam.

OoO

Setelah bel istirahat, Morgan dan Sakti lebih memilih ke basecamp. Di sana keduanya langsung disambut oleh semua anggota kecuali Bagus dan Samar. Kedua orang itu tidak menampakkan batang hidungnya.

Mungkin saja Bagus masih marah pada Morgan dan Samar sibuk membantu Fida menempel brosur yang diyakini merupakan informasi pementasan seni yang akan diadakan dalam waktu dekat ini. Entah ada apa antara Samar dan Fida, keduanya baru-baru ini terlihat akrab.

"Yang lain ke mana, nih?" tanya Sakti. Tangannya mengambil air mineral milik Wandra dan meneguknya sampai habis.

"Kantin kayaknya. Kalo nggak mojok," jawab Tovan yang tengah duduk melingkar menikmati kacang rebus bersama yang lain.

"Kalian berdua habis ngapain pada keringatan gitu?" tanya Hendra.

"Dihukum," jawab Morgan yang sudah menyandarkan punggung di sofa dengan mata terpejam.

Hendra menghentikan makan kacangnya.

"Kok bisa?"

"Bisalah, niat gue mau nyamperin Morgan, eh, malah berujung bolos."

Wandra terkekeh. "Enak tuh."

"Bacotan lo, Ndra, gue mau mati disuruh lari keliling lapangan sama Pak Imam, mana panas lagi."

Bukannya kasihan mereka malah tertawa meledek Sakti.

Morgan mendengar tawa mereka hanya diam. Jangankan tertawa, senyuman saja dia tidak berikan.

Pikirannya kali ini dipenuhi oleh nama Zila dan Nava.

Tadi sebelum Sakti memberitahu perihal Nava, Pak Imam keburu memergoki dirinya yang bolos. Jadinya dia belum tahu apa yang ingin Sakti sampaikan soal Nava.

Karena semenjak kejadian di kolam, Morgan sering memergoki Nava yang memandang dirinya dari jauh. Bukan tatapan memuja, tapi tatapan yang sulit diartikan.

Sebenarnya ada apa dengan gadis berambut keriting itu?

Lalu sekarang Zila. Sedang apa gadis itu? Apakah baik-baik saja? Mengapa rasanya sunyi saat tidak menemui wajah penuh keceriaan itu. Seperti ada sesuatu yang sakit di hatinya.

Biasanya Morgan akan didatangi oleh pemilik mata almond itu, baik saat pagi atau pun istirahat. Tapi kali ini tidak lagi.

Rasa bersalah itu selalu menyelinap dalam hati Morgan. Membuat sesak di dada.

"Mikirin apa sih gue!" decak Morgan. Matanya terbuka.

"Kenapa lo?" tanya Sakti yang sudah duduk di samping Morgan.

Mata coklat Morgan melirik sahabatnya itu yang duduk di sebelahnya, lalu mengedar ke penjuru ruangan.

"Kok sepi?" tanyanya.

"Biasa ke kantin. Lo tidur ya?"

Morgan bangun dan terduduk. Kedua sikunya menumpu pada paha menopang wajahnya yang dia raup kasar. Ternyata dia barusan saja terlelap, mungkinkah ini karena pikirannya yang lelah.

"Gue lagi kepikiran." Morgan menatap lurus ke depan. Memandang foto angkatan pasukan Erudite pertama.

"Soal apa?"

"Zil—" Morgan menggantungkan kalimatnya. Mengapa hendak nama itu yang diucapkannya.

"Nava." Akhirnya nama itu yang meluncur dari bibirnya.

MOZILA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang