ENAM BELAS

3.7K 209 5
                                    

Jika terdiam saja salah, apalagi saat aku menyuarakan perasaanku.

Pembaca lama kalau baca ulang pasti menemukan perbedaan walau sedikit. Iya kan?

OoO

Sudah seminggu Zila menjalani tantangan dari Morgan. Tapi hanya bentakan, cibiran dan penolakan yang dia dapat. Morgan selalu bersikap kasar dan menyakiti hati Zila.

Setiap hari, Zila selalu membawa bekal untuk Morgan, tapi ditolak dan tidak dihargai.

Hari ini genap delapan hari Zila menjalani tantangan itu. Tidak seperti hari pertama, Zila kini menjalani tantangan dengan sikap biasa, tidak agresif. Bagaimana pun Zila mulai lelah, rasanya ingin menyerah. Menaklukan hati Morgan tidak semudah yang dibayangkannya. Nyatanya Morgan memang menutup hati untuknya.

Senin pagi ini Zila sudah datang dengan seragam lengkap. Para murid mulai berhamburan ke lapangan upacara, karena bel upacara akan dimulai dalam lima menit lagi.

Zila melangkah lamban menuju barisan caraka suara. Mengambil barisan paling depan. Mata almond miliknya mengedar mencari seseorang, Morgan.

Tapi bukannya Morgan, Zila malah beradu pandang dengan Renzi. Kakak kelasnya itu terlihat rapih dengan baju dimasukkan, dasi terpasang di leher dan topi di kepalanya.

"Tumben?" gumam Zila. Biasanya Renzi sudah baris di barisan pelanggar aturan, tapi kali ini Kakak kelasnya itu baris rapih di barisan kelas 12 IPS 1, kelasnya.

Bicara soal Renzi, kakak kelasnya itu tidak mengusiknya lagi, semenjak kejadian di taman ruang musik, Renzi lebih sering memantau Zila dari jauh. Seperti memastikan Zila baik-baik saja.

Bel upacara dimulai. Zila pun memutuskan pandangannya bersama Renzi. Matanya sedari tadi menelisik mencari Morgan. Di mana pemilik hatinya itu sekarang?

"Lo di belakang aja, gue mau di depan."

"Apaan sih, Gus. Malas gue di belakang. Soalnya gue mau tebar pesona, caraka tuh jadi pusat perhatian, jadi gue mau di depan," tolak Samar.

"Apaan sih lo. Gue aduin Fida sama Sakti, mampus lo."

"Bodo amat!"

"Sssttt....jangan berisik dong. Mau mulai ini upacaranya," peringat Kaliva, teman sekelas Zila yang berdiri di sampingnya. Mereka berdua pun langsung terdiam.

Zila menoleh ke samping kanan barisan caraka suara bagian anak lelaki. Di sana matanya bertemu dengan wajah samping Bagus dan beberapa anggota Erudite.

"Sedang apa mereka disini?" gumamnya Zila lalu menoleh ke belakang.

Deg.

Dada bidang seseorang membuat Zila mendongak. Matanya membulat saat wajah Morgan yang dia dapat. Wajah itu menatap lurus ke depan tanpa menggubris dirinya di hadapan lelaki berjam tangan putih itu.

Terkejut? Sangat.

Sejak kapan Morgan di belakangnya? Mengapa Zila tidak menyadari kehadiran Morgan? Rentetan pertanyaan itu memenuhi pikirannya saat ini.

Zila tersadar. Dia lalu memutar badan dan fokus ke jalannya upacara. Ini bukan waktu yang tepat untuk terpana, karena protokol upacara mulai membacakan tata upacara.

Bagaimana pun perasaan Zila saat ini tidak bisa membuatnya tidak terpana pada wajah Morgan yang kelewat tampan.

Upacara berjalan khidmat. Tepat saat bagian pengibaran bendera, Zila melihat Nava menjadi pembawa baki. Sepertinya Nava memang sedang ditugaskan menjadi pembawa baki kali ini. Dan sebagian inti pasukan khusus menjadi pengibar bendera.

MOZILA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang