DELAPAN BELAS

4.3K 241 9
                                    

Seharusnya aku tidak berharap lebih pada orang yang tidak pernah menganggap aku ada.

OoO

Zila menyembunyikan wajahnya di dada bidang Bagus dengan tangan yang dikalungkan pada leher lelaki beraroma mint itu. Perlahan isakan mulai keluar dari bibir merah muda Zila.

Badannya menggigil dan juga lemas. Ditambah rasa pusing menjalar nyeri pada kepalanya.

Bagus yang mendengarnya pun menghentikan langkah dan menatap Zila.

"Lo tenang aja, kita akan ke rumah sakit sekarang."

"Kenapa?" tanya Fida yang ada di belakang Bagus.

"Lo sama Sakti urus dulu masalah ini, pastikan pihak sekolah nggak tahu. Biar gue yang bawa Zila ke rumah sakit," jelas Bagus.

Fida melirik sahabatnya lalu mengangguk dan mengusap bahu Zila.

"Lo akan baik-baik aja Zil, gue pergi. Nanti kalo udah selesai, gue akan nyusul." Fida lalu melenggang pergi, sebelum itu dia mengetik pesan pada Ali.

Bagus melirik Nava. "Bawa mobil?"

Nava mengangguk. "Di parkiran utara."

"Gue pinjem, buat antar Zila ke rumah sakit."

"Gue ikut."

Bagus mengangguk. Dia dan Nava pun bergegas menuju parkiran utara. Setelah sampai, Nava segera membuka kursi belakang untuk Zila. Bagus pun membaringkan Zila secara perlahan. Setelah itu dia masuk ke kursi pengemudi. Sedangkan Nava memilih duduk di kursi belakang, sambil memangku kepala Zila.

"Lo akan baik-baik aja Zila," ucap Nava.

Bagus menjalankan mobil menuju gerbang menghampiri Pak Roni, satpam sekolah yang sudah menghalau jalannya.

Bagus menurunkan kaca mobil dan menyembulkan kepalanya.

"Pak, tolong buka gerbang. Ada yang pingsan nih."

"Tidak bisa. Harus ada surat izin dulu."

Bagus memukul stir mobil. "Sial!"

Kepalanya menoleh pada Nava. "Hubungin Fida atau Sakti, bilang kita butuh surat izin."

Nava merogoh saku roknya dan mengangkat ponselnya yang mati total.

"Ponsel gue mati, pasti gara-gara tadi. Ponsel lo?"

Terdengar decakan dari bibir Bagus. Dia mengambil ponsel di saku celananya.

"Sialan. Sama aja."

"Terus gimana? Keadaan Zila memburuk, bahkan dia udah nggak sadar."

Nava mengusap telapak tangan Zila, berusaha menyalurkan kehangatan.

"Pak, tolong Pak, temen saya pingsan nih," mohon Bagus pada Pak Roni.

Pak Roni mendekat dan mengintip melalui kaca. Dia menghela napas.

"Tetap saja, saya harus dapat surat izin dari guru piket."

"Nih!"

Tiba-tiba Renzi datang menyodorkan surat dispensasi dari guru piket.

"Udah kan? Ribet banget!" kesalnya pada satpam itu.

Pak Roni mengambil surat dispen dan menatap Bagus serta Renzi bergantian. Dia pun berjalan ke gerbang lalu membuka lebar gerbang hitam itu.

"Ck! Dari tadi kek," decak Bagus.

"Lain kali mikir dulu sebelum bertindak. Makasih." Renzi menatap tajam Bagus.

Bagus berdecak. "Makasih senior."

MOZILA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang