15. Babe

65 53 23
                                    

Hai manteman^^

Jangan lupa Follow, Vote dan komen per paragraf ya^^

Absen kamu baca part ini jam berapa^^

Absen asal kota kamu dari mana^^

Happy reading<3

***

Malam bertambah larut, bunyi gesekan daun dan gemerincing bambu tertiup angin sayup-sayup terdengar memecah kesunyian malam.

Setelah berhasil menyelamatkan Anan dari lelaki bajingan itu, ketiganya itu kini tengah duduk bersisian di teras rumah. Bernapas tanpa suara, barangkali kata bukan pilihan paling tepat saat ini.

Wildan menoleh, tatapannya tertuju pada Anan yang menerawang jauh entah kemana. "Tadi siapa?"

Gadis itu menoleh, dan mengangkat sebelah alisnya.

"Cowok tadi, Nan." Wildan memperjelas. "Lo ada urusan apa sama dia?"

Anan tersenyum samar, kepalanya tertunduk dalam seakan tak kuasa bertemu tatap dengan Wildan. "Gue nggak mau bahas itu. Nggak penting."

"Penting atau nggak, serius atau perkara enteng sekalipun, kita akan selesaikan sama-sama, Nan." Kini suara Devano yang terdengar meyakinkan. "Gue dan Wildan digarda terdepan untuk jagain lo."

"Gue!" Ucap Anan penuh penekanan. "Bukan kalian."

"Anan, lo nggak sendirian."

"Hargai privacy gue." Gadis itu setengah membentak.

Wildan menghela berat. "Mau sampai kapan lo menutup diri? Dengan lo diam begini, masalah lo nggak akan pernah menemukan titik temu."

Perlahan Anan mengangkat kepala, menatap Wildan sepenuhnya. "Gue nggak peduli. Toh dengan gue cerita ke kalian, masalah gue bakal kelar gitu? Lo bisa jamin?" Ucap Anan sengit.

"Takut? Ada kita."

"Gue cuma nggak mau semuanya bertambah rumit." Gadis itu menekankan.

"Rumit padahal dicoba juga belum. Lo ngelawak?" Devano menimpali, lirikan tajam dia sorotkan.

"Ini nggak mudah. Tolong ngertiin keadaan gue!"

"Kita mengerti lo, sangat mengerti lo." Ucap Wildan frustasi.

"Lo tau apa?" Bentak Anan tak kalah keras.

Wildan menghembuskan napasnya perlahan. "Lo seberharga itu, Nan. Nggak ada alasan untuk nggak peduli sama lo. Nggak ada yang ninggalin lo, nggak ada yang pergi. Dan lo harus tau itu."

Pandangan Anan menurun, kepalanya tertunduk lesu. Telapak tangan Anan yang dingin saling meremas, memberi kehangatan satu sama lain. Perlahan dia bangkit berdiri. "Udah malam nih, lebih baik kalian pulang. Gue mau istirahat."

"Tapi Nan," Wildan berdalih, berusaha supaya Anan mau duduk dan mendengarkan. Namun seolah hatinya terbuat dari batu, Anan tak bergeming. Tetap bersikeras agar Wildan dan Devano segera meninggalkan rumahnya.

"Sorry, tapi untuk saat ini gue benar-benar nggak mood. Gue harap kalian ngerti." Mata Anan semakin berkaca-kaca.

"Dengerin gue dulu, Anan..,"

"Pergi! Gue mohon pergi!" Refleks Anan membentak dengan jari telunjuk diacungkan ke jalan raya. "Gue butuh waktu sendiri, please."

Wildan menghela napas berat. Paham bahwa situasi kian menegang, kedua lelaki itu akhirnya bangkit berdiri.
Namun sebelum melangkah pergi dan angkat kaki dari sana, Wildan mendekat.

Sepenggal Kisah KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang