41. Janji Untuk Tuhan

23 8 30
                                    

Hai manteman^^

Jangan lupa Follow, Vote dan komen per paragraf ya^^

Absen kamu baca part ini jam berapa^^

Absen asal kota kamu dari mana^^

Happy reading<3

***

Tiara meletakkan majalah yang semula dia baca ketika melihat Rey, Adik semata wayangnya keluar dari kamar dengan raut wajah memprihatinkan.

"Kenapa lo?" Tanya Tiara ketika Rey sudah duduk, bergabung dengannya di sofa.

Rey menoleh dengan tatapan datar. "Masih hidup."

"Itu mah ga usah lo jelasin panteg!" Umpat Tiara kesal, lalu menoyor kepala Rey dengan tenaga.

Biasanya Rey tidak akan tinggal diam. Dia akan langsung membekap Tiara dengan bantal lalu menggelitiki nya, hingga sang Kakak kejang-kejang di ambang kematian.

Namun tidak kali ini. Lelaki itu tidak bergeming, tidak pula membalas. Hanya kembali memposisikan diri duduk bersandar dengan kepala mendongak dan mata terpejam.

"Oi, jangan diem-diem napa? Serem taukk!" Tiara berpura bergidik dan memeluk tubuhnya sendiri.

"Lo aja takut sama gue, apalagi Anan." Sudut-sudut bibir Rey melengkung rendah.

"Gue seburuk itu ya Kak?" Lanjutnya.

Mendengar itu, Tiara mendadak bisu. Dia menoleh, menatap wajah sang Adik dari samping. Mata lelaki itu memang terarah pada layar televisi, namun pikirannya jauh berkelana.

"Sesuatu yang semakin sakit, memang harus dilepas kan?" Ujar Tiara, dengan tangan terulur menyentuh puncak kepala Rey.

"Mustahil." Lelaki itu tersenyum samar. "Rasa sakit itu yang bikin gue hidup Kak."

"Egois itu membunuh." Tiara bersuara pelan, namun mengandung penekanan.

"Salah satu harus pergi, agar yang satu tidak semakin terluka." Kalimat itu meluncur dari bibir Tiara.

"Kayak gue dek."

"Kenapa harus salah satu, kalau sebenarnya kita bisa pergi sama-sama?" Rey bertanya sengit.

"Kalau salah satu pergi dan yang lain sakit, siapa yang akan jadi obat?"

"Orang baru belum tentu seramah badut mu yang dahulu."

Dia meletakkan tangannya di atas tangan Tiara yang masih berada di puncak kepalanya.

Tiara bisa merasakan telapak tangan Rey semakin dingin ketika menyentuh permukaan kulitnya.

Semua orang perlu tau, Tiara bukannya tidak punya jawaban. Namun jawaban itu akan terdengar sangat sakit, karena berangkat dari pengalaman pribadinya.

Maka dia hanya diam. Hanya mata-mata kasih diantara mereka yang masih saling menyorot.

Dua orang yang bertalian darah itu, sama-sama merasa asing.

"Rasa sakit itu seharusnya sembuh Kak, bukannya menghilang."

***

Rey setengah berlari dari dalam kamar ketika mendengar suara ribut-ribut dari arah taman belakang.

Air wajahnya yang semula panik, berganti dengan sepasang alis mengernyit ketika melihat sang Kakak tengah berlari-larian dengan satu pentungan sambil menjerit histeris.

Sepenggal Kisah KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang