1. Memilih Sendiri

860 75 5
                                    

Jangan lupa "vote" setelah baca ya, Gaes. Gomawo 🥰

Hening, tidak ada satu kata pun yang kembali keluar dari bibir Luvina begitu mendengar berita tentang pernikahan sepupunya. Hal ini tentu saja membuat hati perempuan berusia tiga puluh tiga tahun tersebut turut bergembira. Namun, akan ada pertanyaan-pertanyaan yang  muncul dan ditujukan padanya jika ia hadir di sana. Itulah yang membuat bibirnya terkatup rapat.  Kalimat-kalimat tanya itu sudah sangat membuatnya muak. Pertanyaan tersebut serupa tetapi dengan kosakata yang berbeda.

"Mbak, masih di situ, kan?"

"He em." Luvina tidak bersemangat menanggapi ucapan Fanisa, adik pertamanya.

"Nggak usah dengerin ucapan mereka nanti. Mbak bakal pulang, kan? Jangan sampai nggak pulang lagi."

Luvina menarik napas seraya memejamkan mata. Ia tidak masalah jika sindiran tentang telat menikah atau perawan tua hanya didengar oleh telinganya saja. Namun, ia tidak akan sanggup jika ibunya yang mendengar hal tersebut. Memilih untuk tidak menghadiri acara keluarga, dinilainya menjadi jalan yang tepat.

"Aku sebenarnya mau aja datang, Dek. Tapi malas gitu nanggapin pertanyaan mereka. Emang jodoh tau kapan datangnya? Capek tau ditanya kapan menikah. Kalau sudah waktunya aku pasti akan menikah, kan, Dek?"

"Iya, Mbak. Kalau mereka nanya gitu lagi. Mbak tinggal balik nanya aja."

"Maksudnya?" Kening Luvina berkerut mendengar saran Fanisa.

"Ya, kan jodoh itu misterius. Tinggal Mbak balikin aja pertanyaannya. Kapan kalian meninggal?"

"Duh, ngawur anak ini." Luvina sontak terbahak. Memang yang diucapkan adiknya itu ada benarnya. Tidak hanya jodoh yang menjadi misteri datangnya. Namun, maut dan rezeki pun sama. Tidak diketahui kapan datangnya.

"Aku kesel juga denger pertanyaan kayak gitu, Mbak."

Luvina terdiam kembali. Ia sebenarnya tidak masalah dengan status single yang disandangnya di usia kepala tiga itu. Ia pun sudah kebal dengan keadaan di sekitarnya. Saat rekan kerja tengah sibuk berbincang membahas makan malam yang akan dimasak untuk suami atau WA grup alumni sekolah yang sibuk membahas perkembangan anak-anak, Luvina tidak pernah memasukkan dalam hati. Ia kerap bersikap seolah tidak mendengar atau membaca obrolan mereka. Rasa iri memang pernah muncul. Namun, ia tidak menjadikannya beban pikiran. Hanya saja, rasa penasaran orang-orang di sekitar tentang dirinya yang belum menikah kerap membuatnya terusik.

Siapa juga yang ingin selamanya hidup sendiri? Ia pun menginginkan seorang pendamping hidup. Namun, bukan sekarang. Terhitung sudah delapan tahun Luvina putus dari mantan pacarnya. Ia masih enggan kembali menjalin hubungan dengan laki-laki.

"Bu Luvi, tolong ke ruangan saya sekarang!"

Luvina tersadar dari lamunan dengan ponsel masih menempel di telinga begitu mendengar nada tinggi yang diucapkan Ganesa, kepala Laboratorium Biologi tempatnya bekerja.

"Baik, Pak." Luvina menegakkan duduknya. "Dek, udah dulu, ya. Aku dipanggil atasan."

"Iya, Mbak. Tapi, pulang ya. Kasihan Ibu terus nanyain Mbak Luvi pulangnya kapan?"

"Lihat aja nanti. Assalammualaikum."

Luvina segera mematikan ponsel lalu memasukkannya ke kantong baju. Ia bergegas mencari laporan yang pasti akan diminta Ganesa.

"Hati-hati, Luv. Akhir-akhir ini Pak Ganesa jadi sensitif," bisik Vindi, rekan kerja Luvina.

Luvina menghela napas pendek, lalu mengangguk lemah. Laporan untuk proyek AMDAL yang sudah dikerjakannya dengan teliti masih belum sempurna juga di mata Ganesa. Padahal, sebelum-sebelumnya, atasannya tidak pernah bersikap seperti ini. Luvina seolah merasa bahwa Ganesa mencari-cari kesalahan yang tidak ada. Ia segera menuju ruangan atasannya itu. Suasana hati yang buruk karena telepon Fanisa masih terasa. Bertambah pula melihat ekspresi Ganesa yang tidak menyenangkan.

BERBURU SUAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang