[0.2]

24.5K 3K 58
                                    

Bagian 0

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 0.2
–Hukuman Menarik–

•••

"Jadi, hukuman apa yang mau kamu kasih untuk Gladys, Cakra?" tanya Bu Erni pada pemuda yang duduk tenang di sebelahku.

Si pengganggu Cakra hanya diam dengan raut seriusnya. "Untuk kali ini, saya menyerahkan tugas ini untuk wakil saya, Raisya, Bu."

Bu Erni menatapku lekat. Guru yang katanya paling galak ini membuatku risih. Dia menghela nafasnya. Apa yang salah? Dasar aneh.

"Raisya, hukuman apa yang menurut kamu pantas untuk Gladys?" tanya Bu Erni.

Aku menatap Bu Erni, Cakra, dan Gladys secara bergantian. Kulihat Gladys yang dengan tenang menunggu tanpa resah sedikitpun.

Apa dia tidak panik? Tentu saja, tidak.

Aku memikirkan pertanyaan itu dengan serius.

Pertanyaannya sangat menarik.

Hukuman apa yang cocok diberikan untuk si antagonis? Mati kah? Atau.. ah tidak-tidak ceritanya baru saja dimulai.

Tuk! Tuk! Tuk!

Aku mengetuk-ngetuk meja di depanku beberapa kali. Ruangan yang hening akan bagus dengan sound yang mencekam.

Seperti film horor yang lebih banyak sound mengagetkan didalamnya. Tertawa dalam hati, aku hanya bercanda saja.

"Hukuman.. yang pantas.. ya.." aku menyeret kata dalam ucapanku. Memiringkan kepala, dan menatap kosong.

Protagonis dan antagonis.

Protagonis yang berakhir bahagia. Itu Ayra dan Kenan.

Lalu antagonis yang berakhir tragis. Itu Gladys dan..

"Ardhan," desisku yang kuyakini terdengar ditelinga mereka bertiga.

Aku kembalikan tatapan mataku yang sebelumnya kosong menjadi menatap malas. Menguap melihat mereka yang masih menunggu dengan setia keputusanku.

"Jadi Raisya?" tanya Bu Erni dengan bingung.

Aku mendengus, "Ardhan, Bu," ulangku.

"Ha? Maksudnya apa Raisya?" tanya Bu Erni yang diangguki oleh Cakra. Agaknya pengganggu disebelahku ini juga tidak mengerti maksud dari ucapanku ya.

Aku menghela nafas malas. Haruskah aku berbicara panjang lebar agar mereka mengerti? Tapi aku malas. Ah sial, merepotkan saja.

Kutatap lekat Gladys yang balik menatapku. Untuk beberapa saat, tatapan kami bersebrangan. Kulihat dia hanya biasa saja sedari tadi. Tidak memberi respon yang berarti.

Sesuai isi novel, Gladys hanya akan emosi kepada Ayra, yang dia anggap sebagai masalah. Sebagai pengganggu hidupnya.

"Katanya, belakangan ini nilai akademik Gladys Lestari menurun secara drastis," ucapku yang diangguki oleh Bu Erni dan Cakra.

Aku melirik Gladys lagi. Kulihat dia memberikan reaksi dengan mengerutkan keningnya. Karena apa? Karena namanya disebut secara lengkap. Alasannya? Tidak tau. Biarkan saja, dia memang aneh.

"Ardhan Wijaya, peraih peringkat pertama paralel dalam semua bidang akademik," mereka berdua mengangguk lagi.

"Hukumannya, mudah. Belajar bersama setiap jam pulang sekolah selesai. Di perpustakaan, saya atau Cakra yang akan mengawasi."

Pertanyaannya, apa Ardhan mau? Tidak tau. Kalau tidak mau, maka paksa saja.

Gladys berdecak kesal. "Gak bisa. Saya harus pulang bareng Kenan setiap pulang sekolah," tolaknya.

Aku menaikkan alis. "Pulang bareng, atau ditinggalkan karena sekarang penumpang yang Kenan bawa sudah berganti dengan Ayra?" tanyaku tenang.

Gladys mengeram lalu menendang-nendang kaki meja dengan ujung sepatunya. Membuat suara mengganggu terdengar.

"Terserah," balasnya malas berakhir pasrah.

Bu Erni menatapku ragu. Apa yang guru aneh ini pikirkan? "Apa gak terlalu mudah? Rasanya, itu gak setimpal dengan perbuatannya."

Aku menatap Bu Erni sinis. "Kalau mau yang setimpal, silahkan Ibu pukuli dia sampai terluka, sampai dia dimasukkan kerumah sakit yang sama dengan Ayra."

Bu Erni gelagapan. "A-ah iya, jadi hukumannya sudah ditentukan. Gladys kamu siap-siap pulang sekolah nanti dan jangan kabur," ucap Bu Erni yang dibalas gumaman pelan oleh Gladys.

Gladys berdiri mendorong bangkunya kebelakang sampai berderit kencang. Lalu pergi begitu saja tanpa pamit.

Brak!

Dan tidak lupa membanting pintu dengan kencang.

Kulihat Bu Erni biasa-biasa saja. Mungkin dia sudah terbiasa. Ah, respect pada telinganya yang bertahan sampai sekarang.

Cakra menarik lenganku untuk berdiri juga. "Kalau begitu, kita pamit Bu," ucapannya yang diangguki oleh Bu Erni. Sedangkan aku hanya membungkuk sedikit tanpa kata.

Aku langsung berjalan kencang lebih dulu membuat Cakra tertarik. Anggap saja sebagai balas dendam karena sebelumnya dia juga menarikku seperti ini.

Menutup pintu dengan pelan, kulihat raut wajahnya biasa-biasa saja. Kulirik lengannya yang juga tidak memerah. Dasar lemah, itu aku.

Pada akhirnya itu menjadi acara balas dendam yang gagal.

"Kenapa?" tanyanya karena aku menatapnya sedari tadi.

Aku menyodorkan telapak tanganku yang terbuka. Cakra mengerutkan dahi. "Apa?"

Aku berdecak kesal. Dasar manusia tidak bertanggung jawab. Manusia ingkar janji. Manusia pelupa. Makiku dalam hati.

Aku tatap dia tajam. "Permen," balasku singkat.

"Ha? Oh," kulihat dia linglung sebentar lalu merogoh saku celananya dan menaruh satu buah permen milkita rasa coklat ditanganku.

"Satu?" tanyaku tidak terima. Dia tidak menjawab membuatku kesal. "Kamu janji mau kasih lima."

Cakra terkekeh pelan. "Sisanya nanti pulang sekolah," jawabnya lalu mengacak rambutku pelan dan berlalu pergi seenaknya.

Aku menatap permen digenggaman ku. Tidak cukup satu. Tapi tetap membuka bungkusnya dan menikmatinya sambil berjalan di koridor yang sepi.

Bel sudah berbunyi sedari tadi. Siswa-siswi sudah masuk dan belajar kembali.

Bolos atau masuk kelas?

Pertanyaan itu terlintas tiba-tiba. Memikirkannya membuatku menimbang banyak hal.

Sayangnya, kata bolos lebih menarik untuk dilakukan.

•••

Bolos tidak disarankan untuk kalian yang masih sekolah, termasuk aku.
Terimakasih.

Transmigrasi FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang