Bagian 1.7
–Masa Lalu Dan Sebuah Ingatan–•••
Saat itu, terlihat seorang perempuan yang sedang mengendarai motornya dengan senyum yang mengembang.
Terlihat dari raut wajahnya kalau dia sedang dalam suasana hati yang gembira. Karena baginya, sesuatu yang dia dapatkan kali ini sangat - sangat membahagiakan.
"Ah, aku gak nyangka banget," gumamnya masih tidak percaya.
"Sebentar lagi Yah, Bu. Kalau aku sukses dengan karyaku kali ini, kalian pasti akan bangga," ucapnya dengan yakin.
Tapi, suatu pemikiran terus-menerus menggangunya. Ucapan Ayahnya saat dia masih berada di sekolah menengah pertama membuatnya ragu.
Mengusik pikirannya.
"Itu tuh pekerjaan yang gak menghasilkan apapun, Kanisya!" ujar Ayahnya kala itu dengan lantang.
Kanisya yang tidak terima membantahnya dengan cepat. "Aku gak anggap itu sebagai pekerjaan!"
"Ya karena itu bukan pekerjaan, lebih baik kamu gunakan waktu kamu untuk hal yang lainnya. Yang lebih bermanfaat yang lebih bisa menghasilkan," balas Ayahnya dan setelahnya berlalu pergi.
Kanisya mengatur napasnya saat Ayahnya sudah pergi. Mencoba menahan diri agar tidak emosi dengan topik yang sudah berulang kali diperdebatkan diantara keduanya.
Apalagi Ibunya, yang selalu membanding - bandingkan dirinya dengan anak teman kuliahnya dulu.
"Kamu lihat tuh si Citra," kata Ibunya sesaat setelah mereka sampai dirumah.
Sebelumnya, Ibunya mengajak dirinya untuk ikut pergi kesebuah perkumpulan reuni.
Entah apa alasan Ibunya hingga turut serta mengajaknya pergi. Tapi kalau saja Kanisya tau Ibunya akan membanding - bandingkan dirinya, dia sudah pasti akan menolak sejak awal.
"Coba aja, anak Ibu itu Citra," ucap Ibunya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Menghela nafas, Kanisya menatap Ibunya dengan tenang. "Ibu, lihat tuh Tante Anya," balasnya dengan nada yang sama.
Kanisya tersenyum lalu berujar dengan santai. "Coba aja, Ibunya Kanisya itu Tante Anya," ucapnya lagi.
Ibunya saat itu menatap marah. "Lancang kamu!" bentaknya.
Kanisya terkekeh pelan mengingat hal itu. Apalagi saat mengingat salah satu momen. Saat dia mendengar alasan konyol yang terucap dari bibir Ayahnya.
Kala itu, mereka lagi - lagi memperdebatkan hal yang sama untuk yang kesekian kalinya.
Tapi untuk yang pertama kalinya juga, Ayahnya berucap sesuatu, yang menurutnya sangat-sangat lucu.
"Ayah cuman mau kamu dapat yang terbaik," katanya dengan raut penuh keyakinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Figuran
Short StoryRaisya Bunga, bukanlah pemeran utama. Dia hanya ditakdirkan menjadi figuran untuk melancarkan jalannya kisah orang lain. Tapi mau bagaimanapun, seorang figuran juga pasti punya kehidupannya sendiri. Terlepas dari bagaimana nantinya, Raisya hanya in...