[1.2]

12.4K 2.1K 214
                                    

Bagian 1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 1.2
–Tidak Jelas–

•••

Aku menelungkup kan wajah dilipatan tangan. Kelas masih sepi. Entah kenapa aku malah berangkat pagi-pagi sekali.

Tadi pagi, Nathan juga menanyakan tentang kantung mata ku yang menghitam. Percayalah, aku jadi tidak bisa tidur sama sekali tadi malam.

Lelah, tapi tidak bisa istirahat. Ini benar - benar merepotkan. Sungguh.

Lalu saat ini aku sudah lelah untuk bertanya. Bertanya tentang ini, bertanya tentang itu. Sampai akhir pun aku tidak pernah merasa mendapat jawabannya.

Buku yang aku temukan juga belum aku lanjutkan. Di lembar ketiga tertulis, jangan buka lembar ke empat sampai sesuatu akan terjadi.

Sesuatu apa lagi yang dimaksud? Tidak bisakah semua ini selesai dengan cepat?!

Mataku berat. Suasana kelas yang sepi agaknya bisa membuatku tertidur. Tidak apa, itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Aku mulai membayangkan, satu domba.. dua domba.. tiga domba.. empat domba.. lima domba.. enam domba.. tujuh domba.. delapan dom–

Brak!

Tapi sialnya, saat aku hampir terlelap, seseorang menggebrak mejaku dan membuatku terpaksa harus bangun.

Aku tatap dia sinis. Tidak bisakah dia membiarkan aku hidup damai sejahtera sebentar saja?

Kenapa dia senang sekali mengacau?

Dia menaruh sebuah proposal di depanku. Aku mengernyit, lalu aku dengan enggan menyimpan proposal itu dikolong meja. Dan setelahnya lanjut menelungkup kan wajah.

Haruskah aku menghitung domba dari awal lagi?

"Raisya," panggil orang itu dengan nada datarnya.

"Hmm?" balasku tanpa merubah posisi.

"Kita perlu bicara," katanya lagi.

"Waktu masih panjang," ucapku malas.

Dia berdecak. "Gue yang gak ada waktu buat lo!"

Aku mendengus lalu bangun dan menatapnya. "Kamu pikir aku punya?"

Percaya diri sekali dia. Dia pikir dia itu siapa memangnya. Artis bukan, penting juga tidak.

Dia mencoba menahan emosinya. "Setujui proposal gue," katanya dengan nada memerintah.

Aku mengernyit tidak suka. "Proposal kamu itu, derajatnya sama kalau dibandingkan dengan proposal yang lain. Aku harus seleksi dulu."

"Setujui sekarang!" katanya memaksa.

"Gak bisa!" balasku ketus.

"Raisya!!" bentaknya.

Aku menghela nafas lelah. "Gilang, please.. aku capek banget. Sumpah," kataku memelas.

Transmigrasi FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang