Bagian 0.3
–Yang Salah Dari Mencintai–•••
Jika ditanya apa yang salah dari mencintai, maka jawabannya, tidak ada.
Bukan salah Gladys jika dia mencintai Kenan.
Dan bukan salah Kenan juga jika dia mencintai Ayra.
Lalu siapa yang salah disini. Ayra kah? Atau Kenan yang tidak bisa setia pada hubungan yang sudah dia jalani dengan Gladys sebelumnya?
Atau mungkin, Gladys yang tidak bisa menyikapi segalanya dengan benar?
Tak! Tak! Tak!
Suara langkah kakiku kembali menyita atensi mereka yang sedang berada di koridor itu. Kudengar bisik-bisik. Dan lirikan yang mereka layangkan.
Aku enggan peduli, tapi beberapa pembicaraan mereka terdengar menarik untuk disimak.
"Lihat deh si Raisya. Tadi itu dia bolos kelas. Gak cocok banget ya sikap dia sama jabatannya sebagai wakil ketua Organisasi Siswa?" tanya siswi itu yang sebenarnya bermaksud mengejek.
Temen disebelahnya mengangguk. "Iya, udah gitu gue dengar, dia ngasih hukuman yang gak setimpal buat Gladys. Pasti dia disogok deh."
Disogok, eh?
Dengan apa? Uang kah? Maaf saja, aku kaya dan uangku sudah banyak.
Lagipula, adakah orang kaya yang menyogok orang yang lebih kaya darinya?
For your information saja, harta keluargaku di dunia ini bahkan lebih banyak dari harta keluarga Gladys.
Terkutuk lah mereka yang hanya bisa bicara tanpa tau kebenaran.
Aku berjalan santai menuju kelasku. Setiap langkah kaki yang kuhentakkan terdengar teratur di jalannya. Seperti biasa, suaranya terdengar menarik, mencekam.
Tak! Tak! Tak!
Aku berhenti didepan pintu sebuah kelas yang terbuka. Aku masuk dan mendapati beberapa siswa yang masih berada disana.
Aku dengar mereka sedang membicarakan pertandingan futsal antar sekolah yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Aku menaikkan bahu, tidak peduli.
Mengabaikan mereka yang terdiam setelah kehadiranku. Aku melangkah lagi dan mengambil ransel berwarna putih polos tanpa corak apapun yang tergeletak di salah satu meja.
Aku mengambilnya dan tetap mengabaikan mereka yang masih terdiam dalam hening.
Pertanyaannya, mengapa setiap orang yang melihatku langsung terdiam dan membuat suasananya menjadi hening? Tidak tau. Pergi saja ke peramal dan baca isi pikiran mereka. Itupun jika bisa.
Aku hendak melangkah keluar. Tapi seseorang menyentak bahuku membuatku berbalik menghadapnya. Aku menaikkan alis, bertanya dalam diam.
Siswa itu mendekatkan wajahnya padaku.
"Kenapa, lo kasih hukuman yang mudah buat Gladys?" tanyanya dengan menekan pertanyaannya itu.
"Apa urusannya sama kamu, mantan pacar?" balasku membuat dia mendesis sinis.
Karena dia hanya diam aku melanjutkan ucapanku. "Rasanya, kamu gak punya atensi apapun disini. Apalagi, dengan gelar sebagai mantan pacar yang dijadikan pelampiasan."
"Lo!" telunjuknya mengarah pada wajahku. Aku menghempas tangannya yang masih ada di bahu, lalu menyentuh telunjuknya yang lancang itu.
Aku menggenggam tangannya lalu memain - mainkan telunjuknya. Aku tatap kedua matanya dengan lekat sambil mengarahkan telunjuk miliknya mengarah pada dadanya sendiri.
"Ada yang salah disini, Gilang. Ada rasa yang berubah, tapi sayangnya belum hilang. Itu kamu."
Aku berjalan pergi dan meninggalkannya yang masih berdiam diri. Juga teman - temannya yang hanya diam menyimak.
GALA. Sebuah komplotan, ah bahasa gaulnya geng motor, yang sayangnya hanya tempat untuk gaya-gayaan. Tidak berguna, itulah mereka.
Dan menariknya, Kenan adalah ketuanya.
Jika ditanya, apa plot cerita berjalan semestinya atau tidak, itu sama saja. Hampir semua plotnya berjalan sesuai isi novel.
Hanya hukuman Gladys yang berubah, dan bisa dipastikan beberapa kejadian di novel ini akan ikut berubah juga kedepannya.
Tak! Tak! Tak!
Langkah kakiku terhenti lagi. Cakra berdiri menghalangi jalanku untuk yang kesekian kali. Apa orang-orang di dunia ini sangat suka memotong jalan orang lain?
Merasa Dejavu, aku menyembunyikan lenganku dibelakang badan. Memberinya pengertian agar tidak menarik lenganku lagi sampai memerah.
Dia terkekeh geli. Lalu merogoh saku celananya seperti terakhir kali dan menyodorkan empat buah permen milkita berbagai macam rasa.
Aku mengambilnya dengan senang hati. Menatap dia dengan senyum manis, "terimakasih," ucapku.
Tidak ada jawaban. Aku memiringkan kepala karena bingung melihatnya yang hanya diam dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan. Aku lambaikan tanganku didepan wajahnya.
"Cakra!" sentakku dengan sengaja membuat dia termundur sedikit karena kaget.
Aku tertawa kecil melihatnya. "Aku mau ke perpustakaan dulu, ngawasin dua serigala agar nggak saling terkam."
"Tunggu," lagi-lagi dia menahan lenganku.
Aku tersenyum masam menatap nasib lenganku yang agaknya selalu sial. Walau tidak ditarik seperti sebelumnya, tetap saja rasanya tidak nyaman.
Untungnya, Cakra cukup peka sebagai lelaki. Dia dengan cepat melepaskan pegangannya.
"Gladys sudah ada di perpustakaan, tapi sayangnya Ardhan tidak setuju untuk mengajar Gladys."
Aku menaikkan alis, "Alasannya?"
Cakra menaikkan bahu, "Dengan alasan, tidak mau dekat-dekat dengan seorang Gladys Lestari."
Aku menutup mulutku menggunakan tangan untuk menahan tawa. "Pftt—"
Cakra mengernyit, "Kenapa?" tanyanya heran.
Aku menggeleng pelan lalu menatapnya. "Jadi dia gak mau," gumamku.
"Maka cuman ada satu cara agar serigala yang satu itu mau," ucapku membuat Cakra menunggu.
"Dengan cara dipaksa," lanjutku lalu melangkahkan kaki menuju tempat seseorang.
Sarang salah satu serigala yang tersakiti.
Tempat biasanya dia bersembunyi. Atau lebih tepatnya, tempatnya menetap.
Ah, ini terlalu lucu sampai membuatku ingin tertawa dalam hati.
"Kenapa harus Ardhan sih, Sya?" tanyanya.
Aku tidak menoleh pada Cakra yang ternyata sedari tadi mengikuti langkahku. "Karena akan lebih menarik kalau kita bisa lihat dua serigala liar disatukan," jawabku tersenyum tipis.
"Dan serigala liar, harus sama-sama dididik, agar tau kalau semesta itu luas," aku terkekeh geli setelahnya.
Ya, serigala liar harus dididik agar patuh.
Agar tidak menciptakan masalah di semesta ini kedepannya.
•••
Maka kalau aku tanya apa yang salah dari mencintai, kalian mau jawab apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Figuran
Cerita PendekRaisya Bunga, bukanlah pemeran utama. Dia hanya ditakdirkan menjadi figuran untuk melancarkan jalannya kisah orang lain. Tapi mau bagaimanapun, seorang figuran juga pasti punya kehidupannya sendiri. Terlepas dari bagaimana nantinya, Raisya hanya in...